Rocky Gerung: Prabowo dan Jokowi Saling Intai di Balik Isu Pemakzulan Gibran
Rocky tidak sepenuhnya sependapat. Ia justru menyoroti bahwa persoalan utamanya bukan pada aspek hukum semata, melainkan pada soal krisis moral dalam kepemimpinan nasional. Ia menyebut bahwa “pemakzulan” tak harus selalu dimaknai sebagai proses hukum formal yang linear, tetapi juga sebagai perlawanan moral terhadap degenerasi kekuasaan.
“Kita sedang berhadapan dengan keadaan di mana kekuasaan kehilangan legitimasi moral. Soal ijazah Jokowi, misalnya, itu bukan sekadar dokumen, itu simbol kebohongan. Publik merasa dikhianati oleh sistem yang mestinya jujur,” tegasnya.
Menurut Rocky, kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi terus merosot. Dan Gibran, sebagai produk dari cawe-cawe kekuasaan Jokowi di Pilpres, dianggap tak memiliki fondasi etis yang kuat untuk menduduki jabatan wakil presiden. Dalam kondisi inilah, kata Rocky, gerakan moral bisa menekan sistem formal untuk membuka pintu pemakzulan.
Ia menyebut bahwa konstitusi sudah menyediakan jalur yang jelas: DPR mengajukan permohonan ke MK untuk menilai pelanggaran, lalu hasilnya diserahkan ke MPR. Namun, dalam praktiknya, yang menentukan bukan pasal-pasal, melainkan kekuatan politik yang bersedia mengambil risiko.
“Apakah partai-partai berani? Itu pertanyaannya. Tapi politik sangat cair. Kalau ada krisis ekonomi, misalnya, sentimen publik bisa berbalik. PDIP bisa mengambil posisi moral sebagai oposisi dan memimpin pemakzulan,” papar Rocky.
Analisis ini menunjukkan bahwa meski saat ini mayoritas partai berada dalam koalisi Prabowo-Gibran, tidak ada jaminan koalisi itu akan solid. Partai seperti Golkar, PAN, bahkan Demokrat, menurut Rocky, sedang menghitung untung rugi. Bila Gibran dijatuhkan, maka jalan untuk kandidat 2029 seperti AHY atau Anies akan terbuka lebih lebar. Politik praktis akan mendorong mereka mempertimbangkan kembali posisi mereka.