Ketahanan Pangan Indonesia Diuji Krisis Iklim, Negara Berpacu Menjaga Pasokan dari Hulu Hingga Hilir
Masalah pangan bukan hanya persoalan teknis pertanian. Ia adalah persoalan bangsa. Ketahanan pangan bukan sekadar data dan laporan, melainkan kisah petani yang setiap hari bergantung pada cuaca, tanah, dan harapan.
Suryadi, petani di Indramayu,menutup percakapannya dengan kalimat sederhana namun sarat makna “Air bisa kering, tapi harapan jangan.”
Dan harapan itulah yang kini menjadi pondasi ketahanan pangan Indonesia, harapan yang dibangun setapak demi setapak, dari desa hingga nasional.
Ketahanan pangan bukan sekadar agenda teknis pemerintah atau wacana statistik yang dibahas tiap akhir tahun. Ia adalah penentu masa depan bangsa penjaga apakah Indonesia akan tegak berdiri atau goyah menghadapi krisis global yang makin tak terduga. Dari sawah yang mulai retak di musim kering berkepanjangan hingga pasar rakyat yang menjadi urat nadi distribusi bahan pangan, semua memberi pesan yang sama kita tidak punya waktu untuk menunda.
Di lapangan, para petani sudah berjuang dengan segala keterbatasan, komunitas desa bergerak dengan kreativitasnya, dan teknologi membuka peluang baru. Namun tanpa arah kebijakan yang konsisten, keberpihakan nyata terhadap produsen kecil, dan komitmen panjang dari seluruh pemangku kepentingan, semua langkah itu akan berhenti di tengah jalan.
Kini pertanyaannya bukan lagi mampukah Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan, tetapi beranikah Indonesia mengambil langkah-langkah besar untuk memastikan kedaulatan hidup rakyatnya? Di tengah laju perubahan iklim dan tekanan pasar global, ketahanan pangan harus menjadi “garis hidup” yang tak boleh terlepas, sekaligus ladang pembuktian bahwa bangsa ini mampu menjaga masa depannya sendiri.