Kisah Mantan Teroris yang Bertobat, Jadi Juru Perdamaian Hingga Membangun Pesantren

28 Feb 2019, 10:32
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Aksi terorisme kini sering terjadi di Indonesia. Mereka kerap melakukan serangan tak terduga dan memakan banyak korban. Tindakan semacam ini bukan perkara baru. 

Bahkan aksi ini sudah tidak asing lagi di masyakarat Indonesia sejak peristiwa Bom Bali beberapa waktu yang lalu. 

Atas hal tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Segala upaya dilakukan untuk memberantas aksi terorisme di Indonesia. Bahkan, banyak para pelaku teroris dihukum penjara seumur hidup.

Namun, di balik maraknya aksi brutal tersebut ternyata ada beberapa teroris yang keluar dari barisannya dan meninggalkan ideologi radikal-ekstrimisme itu. 

Mereka malah banting stir menjadi juru perdamaian. Kisahnya tentu menjadi menarik karena dapat memberi pelajaran baru terkait upaya deradikalisasi. 

Berikut dua kisah di antara mereka yang menarik untuk dibaca.

Khairul Ghazali

Dia adalah mantan teroris yang pernah melakukan aksi perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan. Akibat aksinya itu, salah seorang anggota Brimob tewas. Dia juga yang pernah terlibat kasus penyerangan terhadap Polsek Hamparan Perak.

Belasan tahun hidupnya dia habiskan untuk melakukan tindakan-tindakan tak bermartabat itu dan menyebarkan paham asing radikal-ekstrimisme.

Pada bulan September 2010, Densus 88 berhasil menangkapnya. Dia ‘pun dijebloskan ke dalam penjara. Selama mendekam di balik jeruji besi, ternyata dia memperoleh kesadaran.

“Empat bulan saya evaluasi kembali tindakan saya, karena penjara tempat saya ditahan di Mako Brimob menjadi tempat untuk itikaf,” tutur Khairul kala menjadi narasumber di KompasTV, pada acara Rosi bertajuk ‘Cerita Mantan Teroris’, Kamis (8/6/2017) malam, sebagaimana pula diwartakan kembali oleh Kompas.com keesokan harinya.

Selama di penjara, dia menyadari bahwa tindakannya tak dapat dibenarkan. Salah satu inspirasinya adalah anaknya. Dia tak tega mengetahui anaknya distigma sedemikian rupa sehingga harus keluar dari sekolah dan dikucilkan oleh teman-temannya. Dia menyesal dan tak ingin apa yang dia lakukan terulang kembali oleb anaknya nanti.

Akhirnya, dia memutuskan untuk mendirikan Pesantren Al Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara. 

“Ide bikin pesantren saat di dalam penjara. Saya lihat anak saya itu tidak sekolah karena stigma anak teroris. Dia sampai keluar dari sekolah,” ujar Khairul.

Pesantrennya ini dia jadikan sebagai lembaga pendidikan yang menebarkan pesan-pesan perdamaian.

“Islam itu jelas-jelas mengajarkan toleransi. Siapa bilang pluralisme itu juga bertentangan dengan Islam. Rasullah bahkan pernah memberi makan orang-orang miskin dari agama lain,” katanya. 

 

Iqbal Husaini

Kisah Iqbal hampir sama dengan Khairul. Dia juga teroris namun akhirnya ditangkap. Setelah ditangkap, dia baru menyadari bahwa tindakannya telah merugikan banyak pihak dan sangat bertentangan dengan Islam. Bedanya dengan Khairul, Iqbal tertangkap dua kali.

Awalnya, dia tertangkap pada 2006 lantaran ketahuan menyimpan bahan peledak, amunisi, dan senjata api yang dipersiapkan sebagai perlengkapan aksi-aksi terorisme. Dia pernah bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Dari komplotan ini, dia mendapat pelajaran teknik merakit senjata.

Selepas dari penjara, dia kembali tertangkap untuk kedua kalinya pada 2013 lantaran kasus yang sama. Total, dia merinkuk di penjara sekitar 10 tahun. Selama berada di penjara, dia mendapat banyak kesempatan untuk merenungi apa yang telah dilakukannya.

Sebenarnya, dia sudah mengakui bahwa aksi-aksinya itu tak dapat dibenarkan pada tahun 2011. Ketika itu, dia telah bebas dari penjara. Kesadarannya bermula saat berjumpa dengan korban Bom Bali I.

“Interaksi dengan korban membuat saya menyadari kesalahan utama bahwa yang jadi musuh utama bukan masyarakat sipil,” tutur Iqbal sebagaimana dirilis oleh Kompas.com (9 Juni 2017). Dia menyampaikan kisahnya pada acara “Rosi” bertajuk #MelawanISIS di KompasTV, Kamis (8/6/2017) malam.

Namun, bagi dia tak mudah untuk keluar dari jaringan teroris. Tak seperti keluar dari perusahaan. Dia tak bisa tinggal resign begitu saja. Dia harus berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyalamatkan diri dari komplotannya itu.

Begitupun setelah berhasil keluar, dia harus mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Namun dia tetap kuat. Sarannya buat para mantan teroris ketika ingin benar-benar hidup bersama dengan masyarakat harus terbuka, tak perlu menutup diri.

Katanya, “Teman-teman kan biasanya tidak mau open mind, tidak mau buka diri. Janganlah muncul stigma teroris hanya menghancurkan, tapi (mantan) teroris juga membangun.”

 

 

 

R24/DEV