Polisi China Gunakan Aplikasi Seluler Untuk Mata-matai Muslim Uighur

Riko 2 May 2019, 21:04
Foto (internet)
Foto (internet)

RIAU24.COM -  Polisi China menggunakan aplikasi seluler untuk menyimpan data 13 juta etnis mimoritas Muslim Uighur dan Turk di provinsi Xinjiang. Demikian laporan yang dirilis Human Rights Watch (HRW).

Aplikasi, yang dikenal sebagai Platform Operasi Gabungan Terpadu, digunakan untuk menyimpan informasi dari tinggi dan berat badan setiap individu hingga pemindaian pengenalan wajah.

Laporan itu menambahkan bahwa pihak berwenang Xinjiang mengamati dengan cermat 36 kategori perilaku, termasuk mereka yang tidak bersosialisasi dengan tetangga, sering menghindari menggunakan pintu depan, tidak menggunakan smartphone, antusias menyumbang ke masjid, dan menggunakan jumlah listrik dengan abnormal.

"Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pola, dan memprediksi, kehidupan sehari-hari dan resistensi dari populasi, dan, pada akhirnya, untuk merekayasa dan mengendalikan realitas," kata HRW dalam laporan itu seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (2/5/2019).

HRW bekerja sama dengan perusahaan keamanan Jerman, Cure53, untuk merekayasa balik aplikasi itu pada akhir 2018. Hal itu dilakukan untuk memberikan "jendela" yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang bagaimana sebenarnya pengawasan massal bekerja di Xinjiang.

Seiring dengan pengumpulan informasi pribadi, aplikasi ini meminta para pejabat untuk melaporkan tentang orang, kendaraan dan acara yang mereka curigai, dan mengirimkan "misi investigasi" untuk ditindaklanjuti oleh polisi.

Petugas juga diminta untuk memeriksa apakah tersangka menggunakan salah satu dari 51 alat internet yang dianggap mencurigakan, termasuk platform pengiriman pesan yang populer di luar China seperti WhatsApp, LINE dan Telegram.

"Sejumlah orang mengatakan mereka atau anggota keluarga mereka telah ditahan karena memasang WhatsApp atau Virtual Private Network (VPN) di ponsel mereka selama pemeriksaan oleh pihak berwenang," menurut laporan itu.

HRW mengatakan Beijing telah mengumpulkan sampel DNA, sidik jari, pemindaian iris (mata) dan golongan darah dari semua penduduk antara usia 12 dan 65 serta sampel suara.

"Secara psikologis, semakin banyak orang yakin bahwa tindakan mereka dipantau dan bahwa mereka, kapan saja, dapat dinilai karena bergerak di luar ruang abu-abu yang aman, semakin besar kemungkinan mereka akan melakukan segalanya untuk menghindari mendekati persilangan batasan untuk bergerak," terang Samantha Hoffman, seorang analis di Pusat Kebijakan Cyber ​​Internasional Institut Kebijakan Australia, kepada kantor berita AFP.

"Tidak ada aturan hukum di China, Partai akhirnya memutuskan apa perilaku legal dan ilegal, dan itu tidak harus ditulis," tukasnya.

Kampanye China di provinsi Xinjiang semakin represif setelah serangkaian serangan pisau dan kerusuhan etnis selama 10 tahun terakhir.

Negeri Tirai Bambu ini telah mendapat kritik internasional atas kebijakannya di wilayah barat laut itu, di mana sebanyak satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya ditahan di kamp-kamp interniran, menurut sekelompok ahli yang dikutip oleh PBB. Namun Chian mengklaim kamp-kamp tersebuta adalah pusat pelatihan kejuruan.


Sumber: Sindonews