Sering Tampil Glamour, Ternyata Begini Nasib Miris Para Artis Yang Sering Nongol di TV

Satria Utama 6 Sep 2019, 15:47
ilustrasi
ilustrasi

RIAU24.COM -  Kerap menunjukkan gaya hidup yang glamor, nasib sejumlah artis di tanah air ternyata cukup memprihatinkan. Pekerjaan yang tampaknya dijalani senang ternyata menyimpan kesulitan, terutama soal pembayaran honor yang sering telat dibayar.

Faktanya, miris ini diungkapkan Nanda Persada, Ketua Umum Manajer Artis Indonesia (Imarindo). Lewat unggahan Instagramnya baru-baru ini, Nanda mencurhatkan berbagai persoalan artis tersebut. ‘Kami Harus Bagaimana Lagi?’, begitu judul tulisan yang diungkapkan Nanda.

“Sebagai Ketua Umum Imarindo Ikatan Manajer Artis Indonesia saya banyak menerima keluhan, curhatan dari banyak teman-teman manajer artis, teman-teman musisi, pemain sinetron, film, komedian, host/presenter dan lain-lain. Diantaranya tentang pembayaran honor TV, PH yang sering telat dibayar, sampai ada yang bertahun-tahun,” ungkapnya seperti dikutip dari pojoksatu.id.

Nanda mengungkapkan segala upaya telah dilakukan mulai menagih terus ke TV dan PH namun dijawab dengan macam-macam alasan. “Ketika manajer artis bertindak/berbicara tegas maka takut di-blacklist, tidak diberi pekerjaan lagi. Dianggap tidak kooperatif oleh para TV, PH, dan lain-lain. Positioning yang kami alami faktanya “tidak sejajar”. Sedangkan kami punya tanggung jawab terhadap artis dan tim pekerja. Terus kami harus bagaimana?,” bebernya

Dia juga mempertanyakan mengapa para artis baik itu musisi, host/pembawa acara, komedian dan lain-lain hampir semuanya tidak mendapatkan royalti ketika program tv, sinetron, film menayangkan berulang kali? “Padahal para klien ini (TV, PH Film, PH Sinetron) kan mendapatkan keuntungan ekonomi berulang kali dari iklan. Lihat saja contohnya film Warkop, sinetron2, program2 tv yang rerun (tayang ulang) terus menerus,” ungkapnya.

“Termasuk soal-soal tentang transparasi royalti musik, baik itu di karaoke2, digital, tata kelolanya yang masih banyak masalah, sosialisasi HKI (Hak Cipta) dan lain-lain,” lanjutnya.

Kalau begitu, kata Nanda, buat apa ada UU No 28 Tentang Hak Cipta & Hak Terkait Tahun 2014 yang katanya membahas tentang hak dan kewajiban soal ini kalau sampai sekarang belum ada implementasinya. “Malah di salah satu pasal UU ini disebutkan hak cipta/sebuah karya bisa menjadi obyek fidusia/jaminan ke Bank. Ini sangat hebat. Sebuah penghargaan, harapan, mimpi luar biasa buat para pekerja seni. Tapi apakah ini semua selamanya cuma akan menjadi mimpi?,” jelasnya.

“Sebagai info soal-soal ini juga sering rasanya dibahas dalam acara2 diskusi, di DPR, Seminar, Bekraf, dll sampai audiensi ke “Istana”. Dan sampai sekarang belum ada solusi yang benar-benar konkrit,” timpalnya.

“Lalu kami harus bagaimana lagi? Harus bicara lagi sama siapa? Ttd, Para Pekerja Seni,” pungkasnya. ***

 

R24/bara