Karhutla, Korupsi dan Kambing Hitamnya

Suci 30 Sep 2019, 22:24
Foto: BNPB
Foto: BNPB

RIAU24.COM -  Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sebagian wilayah Indonesia menjadi bencana besar untuk negeri ini. Dua ratus ribu lebih hutan dan lahan yang ada di Indonesia mengalami kebakaran. Mustahil dalam hitungan hari semua akan kembali seperti sedia kala. Betapa menakutkannya kejahatan karlahut yang menimpa Indonesia dan membawa kerugian yang luar biasa.

Tidak sedikit kas negara dan daerah yang harus dikeluarkan untuk memadamkan api. Korban yang diakibatkan oleh asap juga tidak sedikit. Gambut, tanaman lainnya yang memiliki manfaat yang luar biasa musnah dan pastinya akan menganggu keseimbangan alam. Belum lagi hewan yang ditemukan mati hangus terbakar.

Aktifitas ekonomi dan pendidikan juga mengalami kemandekan. Bagaimana mungkin kesejahteraan dan kecerdasan anak bangsa bisa meningkat, jika aktifitas ekonomi dan pendidikannya terbengkalai. Tidak sedikit kerugian negara baik dari sisi materil dan non materilnya.

Kejahatan Karlahut bukanlah kejahatan biasa. Sulit diterima secara akal, bila pelakunya adalah petani lokal. Bagaimana mungkin seorang petani mampu mengelola lahan puluhan, ratusan bahkan ribuan hektar. 
Kerugian negara yang besar tidak boleh dibiarkan begitu saja. Masih banyak yang harus dilakukan oleh negara untuk bisa mensejahterakan rakyatnya. Pembangunan secara merata baik dari sisi materil dan non materilnya masih sangat dibutuhkan. Hal demikian mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas.

Karhutla dalam jumlah besar, patut diduga sebagai perbuatan melawan hukum. Patut juga diduga karhula ini dibuat untuk memperkaya diri pelaku sendiri, orang lain atau korporasi. Oleh sebab itu, kasus ini wajib dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa dan harus ditangani dengan peraturan perundang-undangan yang khusus.

Ditinjau dari sisi kerugian negara, seharusnya kasus Karhutla bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pelaku harus dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi (Tipikor). Selain itu, hentikan mengkambing hitamkan petani lokal yang ditangkap karena membakar lahan dibawah dua hektar. Petani tersebut tujuannya tidak lain, untuk kebutuhan menyambung hidup. Tidaklah sulit bagi penegak hukum untuk membedakan mana penjahat dan mana orang yang dikorban sebagai penjahat. 

Hukum harus ditegakkan. Setiap pelaku pembakaran hutan harus ditangkap dan diadili secara benar. Untuk melakukan pencegahan Karhutla dimasa mendatang. Pemerintah mesti mensosialisasi ulang tentang larangan pembakaran hutan dan lahan serta pengecualian bagi petani lokal dibawah dua hektar dengan mengedepankan kearifan lokal.
Sosialisasi berguna selain untuk mencegah tindak pidana karhutla, juga bisa mendata petani yang akan membuka lahan dengan cara membakar. Petani yang telah terdaftar akan membakar lahan, bisa dilakukan pembakaran secara terjadwal dan bisa dilakukan pengawalan ketat agar tidak terjadi ada api yang melompat ke hutan atau lahan orang lain. Petani lokal biasanya juga tidak akan membakar lahan yang bergambut luas, karena petani sadar bahwa kebakaran lahan gambut tidak akan sanggup mengendalikannya.

Pendataan juga akan berfungsi untuk mencegah pembakaran lahan gambut dan akan mempermudah untuk menangkap pelaku pembakar lahan gambut. Masyarakat juga terselamatkan dari ketakutan untuk bertani dengan cara membakar dan bisa juga dilibatkan sebagai petani peduli karhutla. Banyak keuntungan yang bisa didapatkan oleh negara dan rakyatnya, ketika hukum ditegakkan secara benar.

Korupsi dalam bentuk apapun harus ditindak. Negara seharusnya melindungi rakyatnya dari berbagai kemungkinan kejahatan. Tindakan pencegahan harus tetap diutamakan. Penegakan hukum adalah jalan terbaik untuk tercapainya cita-cita berbangsa dan bernegara.


Penulis: Zainul Akmal, S.H, M.H
Dosen FH UR dan Gusdurian Riau-Kepri