BEM UNSYIAH Gelar Diskusi Polemik Revisi UU KPK

Riki Ariyanto 20 Oct 2019, 08:49
BEM UNSYIAH Gelar Diskusi Polemik Revisi UU KPK (foto/istimewa)
BEM UNSYIAH Gelar Diskusi Polemik Revisi UU KPK (foto/istimewa)

RIAU24.COM -  Minggu 20 Oktober 2019, BEM UNSYIAH adakan kajian untuk menelisik polemik Revisi Undang-Undang KPK. Kegiatan ini guna menanggapi polemik Revisi UU KPK sampai UU KPK yang sudah disahkan dan akan diundangkan.

KPK dibentuk setelah disahkannya UU No 30 tahun 2002, buntut dari banyaknya kerugian negara pasca reformasi dan terhambatnya pembangunan nasional. Kajian ini dilaksanakan pada Jumat (18/10) di Aula Rumah Kaca Universitas Syiah Kuala dan terbuka untuk umum.

Pemateri dalam diskusi ini adalah Bapak Basri Efendi, SH, MKn, MH. seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, diskusi dipimpin oleh Febriansyah selaku Dirjen kajian strategis Kementerian Sosial Politik BEM UNSYIAH dimulai pada pukul 09.00 WIB.

zxc1

Basri Efendi, SH, MKn, MH membenarkan asumsi masyarakat bahwa revisi undang-undang KPK mengakibatkan pelemahan KPK dimana indikatornya adalah penyelidikan perkara korupsi dibatasi hanya sampai 2 tahun, jika lebih dari itu maka penyelidikan selesai. Kemudian Dewan Pengawas KPK yang sampai menyentuh ranah teknis, ditambah lagi dengan pegawai KPK harus seorang ASN, dimana menurut UU no 5 Tahun 2014 tentang ASN disebutkan bahwa ASN bertanggungjawab kepada atasannya sampai dengan yang paling tinggi yakni presiden. Dari point-point tersebut sudah mengancam independensi KPK sebagaimana cita-cita awal dibentuknya KPK itu sendiri," ujar Basri.

“Penolakan terhadap point-point yang dipaparkan tadi merupakan hal yang wajar, yang perlu diketahui adalah bagaimana caranya atau langkah apa yang dapat ditempuh untuk menolak UU KPK yang baru. Pertama adalah melalui jalur yudikatif, yakni Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi tentang pasal yang kontroversi dan direvisi atau MK berhak menolak UU KPK karena apabila MK beranggapan bahwa UU KPK ini berpotensi melemahkan KPK dan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi. Kemudian melalui jalur eksekutif, presiden menerapkan Perppu KPK, namun legislatif dalam hal ini DPR RI dapat menilai objektivitas dari Perppu tersebut dan DPR berhak dan bisa untuk menolak Perppu tersebut."

zxc2

Kemudian ada pertanyaan dari audiens bernama Alfisra mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. "Indonesia yang menganut sistem presidensial dimana presiden, dan harusnya presiden yang menyelesaikan masalah korupsi. Saya bukan dari orang yang pro UU KPK, tetapi bagaimana pendapat bapak mengenai bapak dengan adanya UU KPK ini presiden kembali memimpin masalah korupsi,” tanyanya.

Kemudian dijawab oleh pemateri, benar bahwa kita menganut sistem presidensial tetapi dari dalam UUD 1945 telah di atur mengenai persebaran kekuasaan, dan presiden telah di sumpah untuk melaksanakan uu dengan sabaik baiknya, yang artinya presiden tidak bisa menyentuh hingga ke ranah yang teknis seperti korupsi dimana berhubungan dengan UU.

Kemudian ada pertanyaan dari audiens bernama Wahyu Andrie. "Tepatkah adanya SP3 dalam penanganan kasus korupsi karena penanganan kasus korupsi yang hanya dibatasi sampai 2 tahun saja?" tanyanya.

“Jika undang-undang ini disahkan dan diundangkan maka sudah menjadi amanat undang-undang untuk mengakhiri penyelidikan kasus pidana korupsi jika sudah lebih dari 2 tahun, walaupun kasus tersebut kita anggap belum selesai,” jawab Basri

“Dengan disahkannya UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK itu sendiri, terlihat jelas bahwa pengesahan UU KPK ini tidak memperhatikan aspek sosiologis dimana UU ini dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat. Buktinya telah terjadi penolakan dan demonstrasi dimana mana mengenai UU KPK ini namun hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh DPR RI. Hal ini jelas menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap DPR dan kinerja KPK kedepannya," ujar Febriansyah sebagai penutup diskusi. (Rilis/Riki)