Visi Pendidikan Baru di Bawah Menteri Nadiem Makarim, Disebut-sebut Bikin Orangtua Jadi Was-was, Ini Sebabnya

Siswandi 30 Oct 2019, 11:03
Driver Ojol membentangkan poster berisi ucapan selamat untuk Nadiem Makarim yang diangkat Presiden Jokowi menjadi Mendikbud. Foto: int
Driver Ojol membentangkan poster berisi ucapan selamat untuk Nadiem Makarim yang diangkat Presiden Jokowi menjadi Mendikbud. Foto: int

RIAU24.COM -  Ditunjuknya Nadiem Makarim menduduki jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tidak terlepas dari target Presiden Jokowi. Yakni menyiapkan peserta didik yang siap bekerja di berbagai sektor industri. Hingga saat ini, sang menteri dikabarkan masih menyusun program kerja nyatanya yang kabarnya akan ditopang dengan penggunaan teknologi terkini.

Namun saat ini, beredar kabar yang menyebutkan para orangtua mulai merasa was-was dengan visi pendidikan tersebut. Yang mereka khawatirkan, karenauntuk mewujudkan targetpemerintah itu, visi baru itu nantinya bakal berdampak terhaap adanya perubahan kurikulum secara massif. Hal ini dikhawatirkan akan membuat para siswa kesulitan dan butuh waktu untuk proses adaptasi lagi. 

Namun demikian, sejauh ini, pemerintah menyebutkan perubahan besar akibat dampak kebijakan itu hanya akan terjadi pada sekolah menengah kejuruan (SMK). Sebab sejak awal, SMK memang bertujuan menciptakan tenaga kerja yang siap pakai. 

Dalam sejumlah kesempatan dalam awal kinerjanya akhir Oktober ini, Nadiem menyebut dua fokus kinerjanya ke depan. Salah satunya penyelarasan kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia kerja. Selain itu, pihaknya juga akan fokusnya pada penerapan teknologi untuk memperkuat soft skill peserta didik.

Dilansir bbcindonesia, Rabu 30 Oktober 2019, rasa was-was itu diakui Wulan, warga Tangerang, Banten. Dikatakan, anaknya yang kini masih duduk di bangku sekolah dasar, kehilangan banyak waktu bermain. Hal itu setelah pihak sekolah menerapkan Kurikulum 2013 (K13) sejak dua tahun lalu.

Awalnya, sang anak menempuh pendidikan dasar di sekolah berbasis alam dan aktivitas luar ruangan. Saat naik kelas empat, pihak sekolah memutuskan menerapkan kurikulum berbasis tematik yang sebenarnya sudah dijalankan di sekolah negeri sejak 2013.

"Dari kelas satu sampai tiga, tidak ada pelajaran formal, baru kelas empat dia menjalani ujian. Jadi sSekarang beban akademiknya tinggi, saya harus memasukkannya ke layanan bimbingan belajar. Kalau melihat materi ujian nasional, saya khawatir dia tidak bisa mengejar," ujarnya, Selasa (29/10/2019) kemarin.

Tak hanya itu, Wulan juga mengaku khawatir pada pernyataan Nadiem tentang orientasi pendidikan yang akan menyasar pasar tenaga kerja. Dia cemas anaknya akan kembali menghadapi perubahan kurikulum dan hanya bakal dididik menjadi generasi yang terpatok pada pekerjaan formal.

"Apakah anak-anak memang akan diarahkan untuk bekerja secara formal? Kurikulum harus mengakomodasi kecerdesan setiap anak yang berbeda, bahwa matematika bukan untuk setiap orang," tambahnya

"Bagaimana anak yang berbakat dalam bidang seni? Saya khawatir mimpi mereka akan dimatikan kurikulum yang berpatokan pada kerja," ujarnya lagi. 

Tak Perlu
Terpisah, anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Itje Chodijah, menilai kurikulum pendidikan tak perlu diubah untuk mendukung target pemerintah tersebut. Sebab menurutnya. secara konsep dan filosofis, K13 sudah memuat visi tersebut.

"K13 sebenarnya sudah mengarah ke sana, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana guru mampu menerapkannya secara efektif di kelas sehingga siswa terdampak," ujarnya.

"Dunia kerja butuh orang yang memiliki soft skill dan kemampuan berpikir kritis. Ini yang harus digarap dalam jenjang pendidikan apa pun," tambahnya. 

Sementara itu Ketua Forum Guru Independen Indonesia, Tetty Sulastri menilai, kalau pun nanti ada perubahan kurikulum, maka pemberlakukannya hanya untuk sekolah menengah kejuruan (SMK).

Sejak awal pembentukannya, kata Tetty, hanya SMK yang diharapkan meluluskan peserta didik yang siap kerja tanpa perlu melalui jenjang universitas

"Kurikulum SMA kan memang tidak mengarah ke sana, apakah harus diubah kurikulumnya? Apakah anak SMA yang masih harus melaju ke pendidikan tinggi harus sudah dikenalkan ke dunia kerja?" ujar Tetty.

Hampir senada, Deputi Pendidikan dan Agama di Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Sartono, menyebutkan perbaikan kualitas tenaga kerja di lembaga pendidikan merujuk ke SMK. 

Badan Pusat Statistik mencatat, dari total 6,8 juta pengangguran per Februari 2018, mayoritas di antaranya adalah lulusan SMK. "Ketidaksesuaian lulusan SMK dan dunia kerja didasarkan pada kesempatan magang yang kurang," ungkapnya. 

"Kunci supaya sesuai, mereka tidak hanya diajari teori tapi kesempatan mengetahui kenyataan di dunia kerja. Kurikulumnya juga dibenahi oleh pengguna lulusan dan kementerian. Anak-anak dididik, lalu magang. Tanpa magang, mereka akan gamang saat bekerja," ujarnya lagi. ***