Bukan Ahok, Pengamat Sebut Sosok Inilah yang Sebenarnya Jadi Kunci Keberhasilan Pertamina

Siswandi 26 Nov 2019, 10:34
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok

RIAU24.COM -  Hingga saat ini, pengangkatan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang resmi menjabat Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.

Seperti diketahui, Ahok ditunjuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir lewat persetujuan Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara terang-terangan, Jokowi mengatakan pihaknya ingin Ahok menjadi pengawas internal perusahaan migas pelat merah itu. 

Dengan menjabat Komisaris Utama di perusahaan BUMN tersebut, Ahok diharapkan mampu menurunkan impor minyak, membangun kilang-kilang minyak, dalam rangka menyehatkan defisit neraca dagang.

Menyikapi hal itu, pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menegaskan, Ahok bukanlah jaminan sebagai sosok yang bisa mewujudkan mimpi Pertamina tersebut. 

Dilansir cnnindonesia, Selasa 26 November 2019, Marwan malah menegaskan, kunci perbaikan kinerja di tubuh Pertamina, sejatinya justru berada di tangan Jokowi sendiri selaku orang nomor satu di Tanah Air.

Lebih lanjut, Marwan menerangkan mengapa sosok Ahok tidak bisa dijadikan andalan. Pertama, Ahok hanya duduk di kursi komisaris, bukan direksi. Dalam sebuah perusahaan, peran komisaris terbatas pada pengawasan di luar lingkungan direksi dan memberi masukan terhadap kebijakan.

"Peran Ahok tidak akan lebih besar dari direksi. Jangan dibalik, seolah peran komisaris jadi lebih strategis daripada direksi. Tidak," tegasnya.

Selain itu, Marwan mengisyaratkan Ahok tidak cukup memenuhi syarat untuk duduk sebagai Komisaris Utama Pertamina. Mengutip Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, orang yang menjabat di kursi komisaris merupakan sosok yang memiliki integritas dan kapabilitas di bidang tersebut.

Menurutnya, aturan ini tak terpenuhi pada sosok Ahok. Ia mengingatkan dengan kasus dugaan korupsi yang menyasar realisasi anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ketika Ahok menjabat Gubernur. "Dia belepotan dengan masalah korupsi, tapi mendapat perlindungan KPK dan Polri," terang Marwan.

Selain itu, Marwan juga menilai Ahok tak berhasil memenuhi amanah Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahan yang Baik (Good Corporate Governance/GCG) pada BUMN.

Hal ini tercermin dari ketidaktransparan Ahok dalam mengelola dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang seharusnya masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun justru dikelola secara mandiri di Ahok Centre.

Selain itu, Marwan menilai Ahok akan kesulitan memberantas mafia migas. Seebab pemerintah sendiri tampak bersikap acuh tak acuh dengan persoalan ini. Ia mencontohkan era menteri ESDM Sudirman Said saat membuka penyelewengan, tidak ditindaklanjuti Jokowi.

"Kalau memang mafia migas ada, itu berarti direksi yang ditunjuk tidak pernah becus dan ini muara tanggung jawabnya ada di presiden dan menteri yang menunjuk direksi itu. Berarti, yang membiarkan mafia itu ya presiden sendiri. Tak perlu seolah-olah buttuh peran Ahok untuk membersihkan bila hanya butuh ketegasan presiden," tegasnya. 

Tak hanya itu, Ahok diperkirakan akan kesulitan mencapai target pembangunan kilang minyak untuk mengerek lifting lantaran keuangan Pertamina kacau. Disebut kacau karena negara berutang kepada Pertamina sekitar Rp41 triliun pada 2017-2018. Untuk diketahui, utang itu berasal dari selisih subsidi BBM ke publik dengan nilai keekonomian penjualan minyak. 

Meski utang akan dibayarkan pemerintah, namun kebijakan tersebut membuat keuangan perusahaan terganggu sampai saat ini.

"Ini membuat perusahaan sulit memenuhi kebutuhan dana untuk pembangunan kilang karena diminta menjalankan program politik pencitraan. Jadi, ini semua kuncinya ada di pemerintah, ada di presiden, bukan Ahok," imbuh Marwan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan penolakan dari  Serikat Pekerja (SP) Pertamina. Dikhawatirkan, penolakan membuat iklim bisnis tak kondusif bagi perusahaan di tengah tuntutan untuk menjadi lebih baik.

Penilaian serupa juga dilontarkan pengamat Energi dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi. Ia menilai, sosok Ahok tidak serta merta bisa memperbaiki Pertamina bila tidak ada dukungan penuh dari pemerintah. Sebab, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab pada kinerja perusahaan. Apalagi, jabatan yang diberikan kepada Ahok cuma sebatas komisaris.

"Komisaris dan direksi sebenarnya merupakan sosok yang terbatas bila pemerintah seolah menanti dobrakan dari Ahok menjadikan Pertamina lebih baik. Seharusnya, perannya lebih strategis, misalnya menteri," jelasnya.

Misalnya, ketika pemerintah berharap Ahok bisa menekan impor minyak, tidak mungkin dikejar bila lifting migas rendah. Artinya, diperlukan kebijakan pembangunan kilang. Meski demikian, patut diketahui, pembangunan kilang bukan lah kebijakan perusahaan.

Pertamina, hanya sebagai eksekutor dari target yang ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selagi, pemerintah tidak serius mengejar target RPJMN, maka Pertamina pun pada akhirnya hanya mengikuti pemerintah saja.

"Begitu pula bila berharap ada pemberantasan mafia migas. Petral memang sudah dibubarkan, tapi Pertamina masih begini-begini saja karena pemerintah juga tidak berusaha menutup celah yang lain," tegas Redi.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ahok sudah terlanjur ditunjuk jadi komisaris utama, maka yang perlu dilakukan hanyalah pembuktian. 

"Ya sudahlah, silakan pak Ahok bekerja, serikat bekerja lakukan apa yang bisa diberikan ke Pertamina dan demi merah putih. Justru ini ajang pembuktian pak Ahok," tuturnya.

Sementara terkait masih adanya penolakan terhadap Ahok, Redi mengatakan lebih baik ditempuh jalur gugatan ke pengadilan agar surat keputusan dibatalkan. Hal ini jauh lebih baik ketimbang hanya protes atas penunjukan Ahok. ***