Ini Salah Satu yang Menjadi Penyesalan Terdalam Ulama Besar Islam Abu Darda

Siswandi 5 Dec 2019, 10:19
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Abu Darda tercatat sebagai salah satu sahabat yang hidup pada masa Rasulullah Muhammad SAW. Hingga masa pemerintahan Khulafaurrasyidin, Abu Darda hidup dengan terus menekuni agama Islam dan menjadi guru dan ulama yang disegani. Hingga akhir hayatnya, pria yang bernama Uwaimir bin Malik al-Khazraji, terus mengabdikan dirinya sebagai guru.  

Namun mungkin jarang ada yang tahu, ada satu hal yang menjadi penyesalam terdalam ulama besar muslim ini. Bagaimana ceritanya?

Dilansir republika, Kamis 5 Desember 2019, sebelum memeluk agama Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin Rawahah. 

Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang yang berteman akrab ini memilih jalan berbeda. Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim. Sedangkan Abu Darda masih bertahan dengan kemusyrikannya. 

Hingga saat itu, Abu Darda masih menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.

Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping. Rupanya, berhala itu hancur karena dikapak teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah. Aksi itu dilakukan Abdullah bin Rawahah secara diam-diam. 

Semula Abu Darda sangat marah, tetapi di ujung kemarahannya, ia menerima hidayah hingga kesadarannya muncul.
“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” 

Berdasarkan hal itu, Abu Darda dengan ditemani Abdullah bin Rawahah, segera menemui Nabi dan masuk Islam. Hingga akhir hayatnya, inilah yang menjadi penyesalannya. Abu Darda sangat menyesal karena terlambat menjadi seorang muslim.

Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.

Setelah menjadi muslim, gaya hidup Abu Darda berubah total. Ia lebih memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Tolak Jabatan Tinggi 
Keteguhan hati Abu Darda untuk hidup secara zuhud, kembali tampak saat Khalifah Umar bin Khatab. Pada suatu ketika, Umar bin Khatab menawarinya sebuah jabatan yang tinggi di Syam. Tanpa ragu sedikit pun, ia langsung menolaknya. 

Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar pun setuju.

Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya. Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. 

Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda  bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”

Jawab mereka, “Tentu.” 

“Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”

Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”

“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.”

Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus. ***