Dinilai Sudah Melenceng, Guru Besar UI Sebut Sebaiknya Pemerintah Tarik Kembali Omnibus Law RUU Ciptaker

Siswandi 21 Feb 2020, 11:47
Prof Hikmahanto Juwana
Prof Hikmahanto Juwana

RIAU24.COM -  Hingga saat ini, sorota terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, terus menjadi-jadi. Selain dinilai banyak merugikan buruh, aturan itu tambah disorot terkait adanya salah satu pasal yang menyebutkan Pemerintah Pemerintah (PP) bisa merubah aturan yang dimuat dalam undang-undang (UU). 

Karena dinilai telah melenceng dari keinginan presiden, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juawana menyarankan kepada pemerintah untuk menarik kembali draf yang telah diserahkan ke DPR tersebut.

Terkait hal ini, Staf khusus Presiden, Dini Purwono, menyatakan Pasal 170 RUU Cipta Kerja (Ciptaker) salah konsep atau misunderstood instruction. Dalam hal ini, yang patut disayangkan adalah para drafter.

Ternyata, pernyataan itu mendapat sorotan lagi dari Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juawana.

"Pernyataan Staf Khusus tersebut berarti para drafter tidak secara tuntas memahami apa yang dicanangkan dan diinginkan oleh Presiden saat beliau memunculkan ide Omnibus Law," terang pria yang akrab disapa Prof Hik ini, dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat 21 Februari 2020.

Menurutnya, drafter dapat diibaratkan sebagai tukang jahit. Sebagai tukang jahit tentu harus mengikuti apa yang diminta oleh pelanggan. Hal ini karena yang akan menggunakan adalah pelanggan, bukan si tukang jahit.

"Seharusnya para drafter memulai pekerjaannya dengan berdiskusi secara mendalam dengan Presiden dan menteri-menteri terkait," tambahnya. 

Hal ini sangat penting untuk memastikan apa yang akan dirancang oleh drafter benar-benar sesuai dengan apa yang ada dibenak dan diinginkan Presiden. Hal ini karena Presiden lah yang menentukan legal policy atau politik hukum.

"Bila Omnibus Law Cika (Cipta Kerja) menjadi Undang-undang dan ditegakkan maka apa yang diinginkan oleh Presiden akan benar-benar terwujud di masyarakat," ujar Hikmahanto lagi.

Menurutnya, kesalahan sebenarnya tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada drafter. Hal itu mengingat Kementerian Hukum dan HAM melalui Ditjen Perundang-undangan perlu melakukan verifikasi atau pengujian sebelum diserahkan ke DPR.

Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM juga harus memastikan agar RUU Omibus Law Cipta Kerja sesuai dengan koridor konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Proses inilah sepertinya tidak dilaksanakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Sehingga Staf Khusus Presiden menganggap RUU tersebut tidak sesuai dengan instruksi Presiden.

"Dalam konteks demikian tentu masukan tidak bisa dilakukan pasal per pasal RUU yang ada di tangan DPR. Ini karena secara fundamental RUU sudah tidak sesuai dengan keinginan Presiden. Oleh karenanya pemerintah perlu menarik kembali dan memperbaiki secara fundamental RUU Ciptaker," pungkasnya.  ***