Patut Diacungi Jempol, Begini Saran Pengusaha Bus Agar Perantau yang Sudah Kepepet Bisa Mudik Tanpa Khawatir Sebarkan Corona

Siswandi 14 May 2020, 20:42
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Para perantau bisa dikatakan sebagai salah satu elemen masyarakat yang merasakan dampak wabah Corona Covid-19.

Hal ini mengingat mereka biasanya adalah pekerja yang mengandalkan pendapatan harian. Sementara saat wabah Corona, pekerjaan mereka ikut 'hilang' khususnya di daerah yang memberlakukan PSBB.

Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno,  wajar bila perantau memilih pulang kampung. Soalnya, persediaan logistik dan finansial untuk memperpanjang hidup di perantauan sudah mulai menipis alias kepepet.

Sehingga wajar, jika opsi mudik atau pulang kampung menjadi prioritas, agar hidup bisa selamat. Soalnya di kampung masih ada keluarga atau kerabat untuk bersandar sementara waktu.

"Sudah tidak mampu membayar sewa kontrakan tempat tinggal. Sementara sumber mata pencaharian sepi. Rata-rata perantau ini adalah pekerja informal pendapatan harian," ujarnya, dilansir detik Kamis 14 Mei 2020.

Lalu bagaimana solusinya?

Tampaknya, menarik juga menyimak usulan owner PO Bus Sumber Alam, Anthony Steven Hambali.

Melalui akun facebooknya, Anthony memberikan saran agar perantau tidak terlantar di kota dan tetap bisa mudik dengan aman tanpa menjadi pembawa virus.

Dalam hal ini, ia menyarankan pemerintah menyediakan transportasi dari satu pintu dan diawasi secara ketat.

"Misalnya dari (terminal) Pulo Gebang untuk keluar dari Jakarta, moda darat katakanlah dari Pulo Gebang semua. Maka semua harus melalui Pulo Gebang, kasih satu posko yang ada rapid test di situ. Rapid test itu di pasaran katakan harganya sekarang masih Rp 250-300. Saya yakin kalau pemerintah yang perintahkan pasti bisa dapat lah sekitar Rp 100 ribu misalkan," ujarnya.

Dengan demikian, pemudik yang ingin pulang kampung harus negatif COVID-19 dengan dibuktikan oleh rapid test yang diberlakukan sebelum naik bus.

Karena itu ia ju menyarankan rapid test itu bisa ditambahkan ke syarat untuk bepergian, seperti yang sudah disyaratkan untuk beberapa kalangan yang boleh bepergian saat ini.

"Jadi orang itu punya kepastian. Kalau nggak travel-travel gelap ini akan terus jalan. Dan saya nggak menyalahkan mereka, karena travel gelap itu sifatnya membantu orang yang benar-benar kepepet di Jakarta, mau pulang nggak bisa," sebutnya.

Selain itu, pemudik juga harus menandatangani surat pernyataan untuk dikarantina sesampainya di kota tujuan. Karantina ini perlu dilakukan agar pemudik tersebut benar-benar bebas dari virus sehingga tidak menyebarkan ke kampung halamannya.

"Nah karantina ini ada hubungannya sama satu kita minta aman, yang kedua tercatat. Tercatat ini harusnya pakai jalur pemda, misalnya panggil Pemda Purworejo, bikin posko di Pulo Gebang, didata warga Purworejo yang mau pulang, (datang) ke posko Purworejo di Pulo Gebang, rapid test, boleh pulang, tanyai desanya mana, tunjuk PO (bus) mana yang boleh melayani. Katakanlah Sumber Alam, maka (bus) Sumber Alam hanya boleh berhenti di titik ini. Setelah itu petugas yang di sini (kota tujuan pemudik) sudah tahu besok pagi ini ada penumpang Sumber Alam, desa ini, ini, ini, sudah datang semua, sudah dites negatif (COVID-19), tapi perlu dikarantina," tuturnya lagi panjang lebar.

Untuk menyiasati tempat karantina yang terbatas, Anthony menyarankan agar disediakan dua lokasi karantina.

Sedangkan waktu perpulangan para pemudik juga bisa digilir secara rombongan per 1 minggu sekali.

Jadi, misalkan minggu pertama pemudik dikarantina di satu lokasi, minggu kedua di lokasi karantina lain. Sementara rombongan pemudik pada minggu ketiga, bisa menggunakan lokasi karantina pertama yang rombongan pemudik minggu pertama selesai dikarantina.

"Kalau kepulangannya dibuat gelombang seminggu, seminggu, seminggu, dan itu di-rapid test saya yakin ini bisa dikendalikan," sebut Anthony.

"Jadi saya mohon dan saya memberikan masukan kepada pemerintah pusat atau siapa pun yang berwenang, mesti koordinasi. Karena saya yakin kalau Anda (pemudik) semua dikurung di Jakarta, fasilitas kesehatan di Jakarta itu tidak cukup kapasitasnya untuk handle semua. Jadi saya menyarankan justru ini kita bergotong royong, berbagi beban dengan pemda, (pemerintah) pusat berbagi beban dengan pemda. Dan kita ini menyelematkan masyarakat. Ini nggak ngopmong ekonomi, nggak ngomong untung atau rugi," ujarnya lagi.

Nah, sekarang bagaimana menurut Anda? ***