Diduga Hilangkan Barang Bukti, Polisi yang Membela Pembela Penyiram Novel Dilaporkan ke Propam Polri

Siswandi 8 Jul 2020, 12:21
Dua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Foto: int
Dua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Foto: int

RIAU24.COM -  Kasus penyiraman air keras yang dialami penyidik senior KPK Novel Baswedan, tampaknya bakal terus berlanjut. Kali ini, tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Pol Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri. Ia dilaporkan karena diduga melanggar kode etik, karena diduga telah menghilang barang bukti dalam kasus tersebut. Akibatnya, upaya Novel mendapat keadilan dalam kasus itu tak terwujud. 

Hal itu diungkapkan anggota tim advokasi Novel, Kurnia Ramadhana, Rabu 8 Juli 2020 kepada wartawan. 

"Proses penuntasan teror yang menimpa Penyidik KPK, Novel Baswedan, semakin suram. Sehingga, dapat dipastikan, Novel selaku korban tidak akan memperoleh rasa keadilan dalam penanganan perkara ini," lontarnya, dilansir viva. 

Untuk diketahui, saat ini Irjen Rudy menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri. Sebelumnya, yang bersangkutan merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel. Waktu itu Irjen Rudy sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Dikatakan, dari hasil penelurusan yang dilakukan pihaknya, ditemukan ada sejumlah kejanggalan. Di antaranya, ada beberapa barang bukti yang hilang.  

"Sehingga, segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya," tambahnya. 

Menurut Kurnia, ada empat yang dijadikan pihak sebagai landasan untuk melaporkan Irjen Rudy ke Divisi Propam Polri.

Pertama, terkait hilangnya sidik jari pelaku di botol dan gelas yang dipakai sebagai alat penyerangan. Dikatakan, pada 17 April 2019 lalu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.

Padahal dalam banyak pengakuan, baik dari korban atau para saksi, gelas itu ditemukan oleh pihak Kepolisian pada hari yang sama, 11 April 2017, sekira pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri.

"Sehingga sudah barang tentu, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu," kata Kurnia.

Tak berhenti sampai di situ, botol dan gelas yang digunakan pelaku juga tidak dijadikan sebagai barang bukti dalam proses penanganan perkara ini. Berdasarkan hal itu, pihaknya curiga ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian dalam perkembangan penanganan perkara tersebut, 

Hal ini juga diperkuat dengan pengakuan dari terdakwa yang menyebutkan bahwa persiapan penyiraman terhadap Novel, telah dilakukan sejak kedua terdakwa masih berada di markas Brimob.

"Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas," kata Kurnia yang juga peneliti ICW.

Selain itu, pihaknya juga mempersolakan rekaman CCTV di sekitar rumah Novel Baswedan yang tidak dijadikan barang bukti. Kurnia menyebut, pada 10 Oktober 2017 lalu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa kepolisian telah mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.

Namun, berdasarkan pengakuan Novel dan saksi, terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku, tapi malah tidak diambil oleh kepolisian. Bahkan, beberapa CCTV di sekitaran rumah Novel diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk bisa memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.

"Dapat simpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku," tambahnya lagi. 

Selanjutnya, pihaknya juga mempersoalkan Cell Tower Dumps (CTD) yang tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara. Padahal CTD adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.

Namun dalam kasus Novel, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh pihak Kepolisian. Mulai dari penanganan perkara, hingga prosesnya berlangsung di persidangan. 

"Terlebih lagi dalam kejahatan terorganisir seperti ini, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular," kata Kurnia.

Atas dasar ini, Kurnia nenuturkan, dapat dikatakan bahwa adanya upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya.

Terakhir, pihaknya mempersoalkan minimnya penjelasan terkait sobekan baju gamis milik penyidik KPK, Novel Baswedan. 

Kurnia menyebut, pada persidangan tanggal 30 April 2020 majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan korban, saat aksi penyiraman air keras terjadi. Namun menurutnya, hal yang janggal adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.

Merujuk pengakuan dari kepolisian, baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.

"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi," Kata Kurnia.

Dalam hal ini, imbuh Kurnia, Novel Baswedan tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya.

Berdasarkan empat poin di atas, pihaknya menilai patut diduga Irjen Rudy Heriyanto selaku mantan Dirkrimum Polda Metro Jaya telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. ***