Gawat! Perusahaan China Ini Bocorkan Ribuan Data Pribadi Warga Indonesia ke Pihak Intelijen

Satria Utama 24 Sep 2020, 13:33
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Seorang profesor Amerika Serikat, Chris Balding mengungkap informasi mengejutkan mengenai perusahaan China yang membocorkan lebih dari 2 juta data pribadi, termasuk ribuan data warga negara Indonesia. Perusahaan tersebut dikabarkan memiliki relasi kuat dengan militer dan intelijen negeri Tirai Bambu tersebut.

Menurut Chris nama perusahaan itu adalah Shenzen Zhenhua. "China benar-benar membangun pengawasan negara besar-besaran di dalam negeri maupun internasional," kata Balding yang pernah mengajar di Universitas Peking.

"Mereka menggunakan berbagai macam alat-alat ini diambil terutama dari sumber publik, ada data non-publik di sini, tetapi terutama diambil dari sumber publik," ujar Profesor yang saat ini menetap di Vietnam setelah meninggalkan China pada 2018 karena alasan keamanan.

Balding kemudian menyerahkan database tersebut pada perusahaan keamanan siber Australia, Canberra Internet 2.0 untuk memulihkan 10 persen dari 2,4 juta data pribadi yang dibocorkan China.

Sebagai informsi, klien utama Zhenhua diketahui adalah Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dan Partai Komunis China (PCC).

"Saya pikir ini berbicara tentang ancaman yang lebih luas dari apa yang dilakukan China dan bagaimana mereka mengawasi, memantau, dan berusaha memeranguhi bukan hanya warga negara sendiri, tetapi warga di seluruh dunia," lanjutnya.

Dari data yang berhasil dipulihkan ditemukan 250.000 catatan yang berisi data pribadi 52.000 warga Amerika Serikat, 35.000 warga Australia, 10.000 data penduduk India, 9.700 Inggris, 5.000 Kanada, 2.100 orang India, 1.400 Malaysia dan 138 Papua Nugini.

Temuan lainnya, 793 data warga Selandia Baru yang diprofilkan dalam data base, 734 di antaranya ditandai dengan minat khusus atau terpapar secara politik.

"Dalam prosesnya, perusahaan telah melanggar privasi jutaan warga global persyaratan layanan dari hampir semua platform media sosial utama dan meretas perusahaan lain untuk mendapatkan datanya," kata Kepala Eksekutif Internet 2.0, Robert Potter dikutip dari ABC, Kamis (24/9/2020).

"Pengumpulan data massal ini terjadi di sektor swasta China, dengan cara yang sama Beijing mengalihkan kemampuan serangan dunia maya ke subkontraktor swasta," tambahnya.