Soal Banjir di Kalsel, Banyak yang Sebut Akibat Kerusakan Lingkungan, Tim Bareskrim Simpulkan Ini Penyebabnya

Siswandi 22 Jan 2021, 17:20
Petugas mengevekuasi warga yang terjebak banjir di Kalimantan Selatan. Foto: int/kom
Petugas mengevekuasi warga yang terjebak banjir di Kalimantan Selatan. Foto: int/kom

RIAU24.COM -  Banjir yang melanda Provinsi Kalimantan Selatan, saat ini tengah menjadi sorotan banyak pihak. Hal itu disebabkan banjir yang terjadi kali ini tergolong luar biasa. Data dari pemerintahan setempat menunjukkan, sebanyak 70 kecamatan dari 11 Kabupaten/Kota ikut terdampak banjir tersebut.

Terkait hal itu, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono mengatakan, tim Bareskrim telah turun ke lapangan guna memastikan penyebab banjir. 

Dari hasil pengumpulan bahan keterangan di lapangan, penyidik menyimpulkan banjir terjadi karena faktor curah hujan yang tinggi.

"Ternyata memang kenapa banjirnya itu karena memang faktor curah hujan saat itu sangat tinggi," ujarnya, Jumat 22 Januari 2021, dilansir rmol. 

Selain itu, tambahnya, dari pendalaman yang dilakukam tim Bareskrim, didapat informasi dari Syahbandar, terjadi gelombang tinggi hingga dua setengah meter, sehingga berpengaruh terhadap arus balik air ke daratan.

"Ini sementara hasil turun lapangan dari Bareskrim seperti itu. Bareskrim sudah turun ke Kalsel. Yang dapat diketahui bahwa hasil BMKG pada saat itu curah hujan sangat tinggi ekstrim," ujarnya lagi. 

Banjir di Kalimantan Selatan saat ini tengah menjadi sorotan. Koalisi masyarakat yang fokus di bidang lingkungan, menyebut banjir kali ini terjadi akibat kerusakan lingkungan. 

Mereka menyebut kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang rusak akibat tambang, menjadi penyebab terjadinya banjir tersebut. 

Sebelumnya, Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M Jefri Raharja, kepada kompas, menegaskan banjir tahun ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya. 

Menurutnya, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari, jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung. 

Namun demikian, massifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil sebagai penyebab bencana itu. 

"Bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit," ungkapnya. 

Data yang dimilikinya, pembukaan lahan terutama untuk perkebunan sawit terjadi secara terus menerus. Dari tahun ke tahun luas perkebunan terus meningkat. Kondisi yang kemudian turut membuat kondisi di daerah itu jadi berubah. 

"Antara 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun," paparnya. 

Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar. Untuk jumlah perusahaan sawit, pada Pekan Rawa Nasional I bertema Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim 2011, tercatat 19 perusahaan akan menggarap perkebunan sawit di lahan rawa Kalsel dengan luasan lahan mencapai 201.813 hektar. 

Sementara itu, Mongabay melaporkan, 8 perusahaan sawit di Kabupaten Tapin mengembangkan lahan seluas 83.126 hektar, 4 perusahaan di Kabupaten Barito Kuala mengembangkan sawit di lahan rawa seluas 37.733 hektar, 3 perusahaan sawit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan luasan 44.271 hektar, 2 perusahaan di Kabupaten Banjar dengan lahan sawit seluas 20.684 hektar, kemudian, di Kabupaten Hulu Sungai Utara ada satu perusahaan dengan luas 10.000 hektar dan di Kabupaten Tanah Laut mencapai 5.999 hektar. 

Tak hanya itu, tambah Jefri, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, saat ini ada 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalsel atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia. 

“Untuk tambang, bukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar,” ujarnya lagi. ***