Pemerintah Bakal Pungut Pajak dari Pulsa dan Token Listrik, Rizal Ramli: Akibat Ngutang Ugal-ugalan dan Bunga Kemahalan...

Siswandi 30 Jan 2021, 01:58
Rizal Ramli. Foto: int
Rizal Ramli. Foto: int

RIAU24.COM -  Rencana pemerintah memungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucher, kartu perdana dan token listrik, mendapat sorotan dari ekonom senior Rizal Ramli

Untuk diketahui, pungutan itu rencananya akan mulai diterapkan mulai 1 Februari mendatang. Rencana pemungutan pajak tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucher. 

PMK tersebut ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada 22 Januari 2021.

Rizal Ramli menilai, kebijakan itu merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang berutang dengan bunga yang sangat tinggi.

“Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun, akhirnya kepepet, Menkeu terbalik Sri Mulyani tekan sing printil-printil, seperti, pajakin rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa,” lontarnya, melalui keterangan persnya, Jumat 29 Januari 2021.

Menurutnya, cara yang ditempuh Menkeu Sri Mulyani itu tidak kreatif. Bahkan, kebijakan itu bisa Presiden Joko Widodo bakal “terpeleset” bersama Menteri Keuangan.

“Mbok kreatif dikit kek. Jokowi akan kepleset bersama Menkeu terbalik. Udah ndak ngerti, dengerin mediocre,” ujarnya, dilansir viva, Sabtu 30 Januari 2021. 

Kebijakan Kontraproduktif 
Tak jauh berbeda, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira, menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha di era resesi dan pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. 

Padahal, saat ini pemerintah meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah (Work From Home) sehingga membutuhkan sangat banyak pulsa data atau nomor perdana.

"Karena itu, kebijakan ini dianggap merupakan beban baru bagi masyarakat," lontarnya. 

Ditambahkannya lagi, beban 10 persen seperti yang diterapkan dalam PMK tersebut, tidak mungkin hanya ditanggung pihak penyelenggara. Buntutnya, harga jualnya akan dinaikkan. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan dan daya beli masyarakat.

Tak hanya itu, Bhima bahkan menyebut kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital yang dicanangkan pemerintah selama ini.

Untuk diketahui, salah satu alasan terbitnya aturan itu adalah kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucher perlu mendapat kepastian hukum. 

Pertimbangan lain untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan PPN atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa.

Dalam pasal 4 ayat 4 disebutkan pemungutan PPN sesuai contoh yang tercantum pada lampiran dalam PMK itu yakni sebesar 10 persen. Sementara itu, terkait penghitungan dan pemungutan PPh atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua yang merupakan pemungut PPh pasal 22, dipungut PPh pasal 22.

Pemungut PPh melakukan pemungutan sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada distribusi tingkat selanjutnya atau harga jual atas penjualan kepada pelanggan secara langsung.

Bila wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemungutan PPh pasal 22 lebih tinggi hingga 100 persen dari tarif awal yang ditetapkan sebesar 0,5 persen. ***