Inilah Kesalahan Uji Klinis Vaksin Fase 1 Buatan Terawan yang Menyebabkan BPOM Belum Mengizinkan Untuk Fase Tahap 2

Amerita 15 Apr 2021, 09:21
Foto : Kompas.com
Foto : Kompas.com

RIAU24.COM -  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis hasil uji klinis fase 1 vaksin Nusantara oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Uji klinis fase 1 dilakukan di RSUD Dr. Kariadi Semarang Jawa Tengah sejak 22 Desember 2020. Subjek penelitian berjumlah 28 orang.

Kemudian, pada 15 Januari, 29 Januari, 9 Februari, dan 18 Februari, peneliti vaksin Nusantara menyampaikan hasil uji klinis fase 1 berupa observasi keamanan 14 hari dan imunogenisitas 1 bulan setelah uji vaksin.

Namun, Kepala BPOM Penny K. Lukito menyebut data hasil uji klinis tahap 1 berubah-ubah. Oleh karena itu, tim BPOM melakukan sidak ke tempat uji klinis DR. Rumah Sakit Kariadi. Penny menilai hasil uji klinis tersebut ternyata belum layak.

Berdasarkan hasil uji klinis Tahap 1, vaksin Nusantara dinilai belum memenuhi banyak aturan tahapan uji klinis, di antaranya good manufacturing practice (GMP) dan good clinical practice (GCP), ”kata Penny dalam keterangan yang diterima VOI. pada hari Kamis, 15 April.

BPOM menemukan lima kesalahan dalam aspek pemenuhan uji klinis good manufacturing practice (GMP) fase 1 vaksin nusantara.

  • Pertama, produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi steril. Penny mengatakan, tim peneliti mengklaim vaksin itu dibuat dengan cermat, dengan mengeluarkan darah dari tubuh manusia hingga dimasukkan kembali tidak pernah ada proses membuka tabung darah. Namun kenyataannya semuanya dilakukan secara manual dan sistem terbuka. "Produk harus steril, tidak terkontaminasi, tapi data tidak menunjukkan itu," kata Penny.
  • Kedua, antigen sars cov-2 yang digunakan sebagai produk utama pembuatan vaksin dendritik tidak terjamin kebersihannya. “Dinyatakan oleh pabrikan (Lake Pharma-USA) bahwa belum ada jaminan kemandulan. Antigen hanya digunakan untuk penelitian di laboratorium, bukan untuk diberikan ke manusia,” kata Penny.
  • Ketiga, hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. “Ini berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan berisiko menimbulkan infeksi bakteri pada penerima vaksin,” ucapnya.
  • Keempat, produk akhir vaksin dendritik tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik. Penny mengatakan peneliti hanya menghitung jumlah sel. Namun hal tersebut juga tidak konsisten karena terdapat 9 dari 28 sediaan yang tidak terukur, dan dari 19 sediaan yang diukur terdapat 3 sediaan yang berada di luar standar, namun tetap dimasukkan.
  • Kelima, Penny mengaku sudah pernah dilakukan pemeriksaan oleh BPOM. Sayangnya, hasil pemeriksaan pertama tidak ditindaklanjuti dengan penyelesaian Tindakan Korektif dan Tindakan Pencegahan (CAPA). Dalam hal ini CAPA merupakan tindakan perbaikan dan preventif dalam suatu penelitian, agar mutu, keamanan dan mutu produk kesehatan dapat terjamin. “Sayangnya, tim peneliti vaksin nusantara tidak melakukan koreksi dengan pengajuan CAPA. Bahkan berulang kali diabaikan atas permintaan BPOM,” jelas Penny.

zxc2

Karena itu, Penny meminta tim peneliti melakukan perbaikan dan menyampaikannya ke BPOM.

“Mohon dikoreksi pembuktian konsepnya, kemudian data diperlukan untuk membuktikan keabsahan uji klinis tahap I, kemudian jika semua terpenuhi maka kita putuskan apakah memungkinkan untuk melangkah ke tahap selanjutnya,” pungkasnya.