Kisah Pergi Ke Mekah Dengan Kapal Dan Tantangan Lain Untuk Naik Haji Pada Zaman Bahela

M. Iqbal 3 Jun 2021, 10:44
Foto : Kompas.com
Foto : Kompas.com

RIAU24.COM -  Haji merupakan tujuan penting bagi umat Islam. Terutama di Indonesia. Selain menunaikan rukun Islam, haji merupakan penanda status sosial. Tapi ziarah kuno jelas berbeda dari hari ini. Lebih menantang.

Tidak diketahui secara pasti kapan umat Islam di Nusantara mulai menunaikan ibadah haji. Namun, ada satu nama yang tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama dari Nusantara yang berziarah. Ia adalah Pangeran Abdul Dohhar, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.

Pangeran Abdul Dohhar pergi haji pada tahun 1630. Pada tahun-tahun berikutnya, semakin banyak orang pergi haji. Tradisi ziarah bahkan telah berkembang menjadi tradisi pendidikan.

Orang-orang yang semula pergi ke Mekkah hanya untuk menunaikan ibadah haji kemudian bergabung untuk mempelajari Islam. Sepulang dari Mekah, orang-orang ini membawa ilmu agama dan mengajarkannya di negeri itu.

Tantangan haji semakin berat setiap tahunnya. Dikutip dari buku Kumpulan karangan Snouck Hurgronje Volume VIII karya Soedarso Soekarno, salah satu tantangan yang dihadapi para peziarah saat itu adalah ibadah yang memakan waktu lama.

Saat itu, sebelum ada kapal uap, jemaah haji berangkat menggunakan kapal layar menuju Aceh. Dari sana mereka naik kapal dagang menuju India. Tidak ada kapal yang langsung membawa mereka ke Mekah.

Setelah dari India, mereka melanjutkan perjalanan dengan kapal ke Yaman. Jika beruntung, mereka mendapatkan kapal yang langsung menuju Jeddah. Rute ini bisa memakan waktu setengah tahun dalam sekali keberangkatan.

Kendala lain yang harus dihadapi jemaah haji adalah tenggelamnya kapal yang mereka bawa sehingga menyebabkan penumpang kapal tenggelam atau terdampar di pulau tersebut. Ada juga jemaah haji yang hartanya dirampok bajak laut atau bahkan hartanya dijarah oleh awak kapal itu sendiri sehingga niat untuk menunaikan haji kandas.

Ziarah dari Hindia Belanda mulai difasilitasi ketika Terusan Suez dibangun pada tahun 1869. Saat itu jumlah kapal uap yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Jeddah semakin ramai. Tidak hanya mereka yang menunaikan ibadah haji, tetapi juga mereka yang tinggal di Mekkah.

Akibatnya, jumlah jemaah haji yang kembali ke Tanah Air lebih banyak dibandingkan yang berangkat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial. Dikutip dari buku Encyclopaedie van Nederlandsch Indie karya EJ Brill dan Martius Nijhoff, penguasa di Hindia Belanda saat itu tidak bisa mengawasi aktivitas penduduk Hindia Belanda di luar ibadah haji.

Saat itu pemikiran Pan Islamisme di Timur Tengah sedang marak. Pemerintah Hindia Belanda khawatir ide-ide dari ide ini akan masuk ke wilayah jajahan dan menimbulkan gerakan perlawanan di masyarakat.

Terakhir, pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat di Jeddah pada tahun 1872. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga mulai menangani langsung proses haji, mulai dari pemberangkatan hingga pemulangan ke Tanah Air.

Awalnya semua berjalan lancar. Namun, seiring bertambahnya jumlah jemaah haji, kapal-kapal pemerintah Hindia Belanda tidak lagi mampu mengangkut jemaah haji. Keputusan selanjutnya adalah melibatkan pihak swasta. Namun, keterlibatan ini menimbulkan masalah baru. Dikutip dari buku Biro Perjalanan Haji di Kolonial Indonesia: Agen Herklots dan Firma Alsegoff & Co yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), menjelaskan pintu terbuka lebar bagi pihak swasta untuk terlibat dalam penanganan perjalanan haji. , menyebabkan akibat yang buruk.

Pihak swasta ini memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan yang berlebihan, melebihi niat ibadah jamaah. Orientasi ekonomi yang berlebihan ini mengakibatkan kekacauan dalam pemberangkatan haji swasta. Para calo pun bermunculan.

Mereka adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mencari calon jamaah haji sebanyak-banyaknya. Jika target tercapai, para calo akan mendapatkan reward dari pihak swasta, yakni pergi ke Jeddah secara gratis.

Di kapal, aktivitas calo ini tidak berhenti. Mereka menjadi calo penginapan jemaah di Tanah Suci. Tentu saja mereka meminta uang tambahan kepada jemaat. Bagi jemaah kaya, masalah ini mudah. Namun tidak demikian bagi jemaah dengan uang pas-pasan.

Dalam konteks ekonomi, haji juga merupakan bisnis. Terhormat. Tidak semua bisnis dijalankan dengan baik. Berbagai persoalan membayangi persoalan haji di zaman Hindia Belanda. Pada saat itu ziarah menyebabkan persaingan bisnis yang ketat.

Saking ketatnya, haji seringkali diwarnai dengan perbuatan keji, dari monopoli hingga penipuan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perjalanan haji di Hindia Belanda ditandai dengan monopoli bisnis yang kuat oleh agen perjalanan haji swasta.

Monopoli tersebut disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda melalui penerbitan izin, sehingga banyak jemaah yang dirugikan. Dalam konteks penipuan, praktik ini kerap menjerumuskan jemaah haji ke dalam perbudakan.

Lainnya, terkait pemberian gelar haji palsu kepada jemaah haji yang bahkan belum sampai ke Mekkah. Begitu banyak bentuk penyimpangan dalam pengelolaan haji saat itu. Bahkan, banyak jemaah haji yang diperas hartanya sehingga tidak bisa melanjutkan ibadah haji di Mekkah. Uang jemaah seringkali hanya cukup untuk jalan-jalan ke Singapura. Korban penipuan tersebut disebut sebagai "Haji Singapura."

Selain pemerasan, agen pemberangkatan haji swasta juga terlibat dalam banyak penipuan. Salah satu kebobrokan yang paling disoroti oleh pemerintah kolonial adalah agen perjalanan haji Herklots dan Firma Alsegoff.

Pendirian biro perjalanan haji, Herklots, dirintis oleh YGM Herklots. Ia adalah seorang Indo-Eropa yang lahir di Jawa. Herklots menjalankan bisnisnya dengan menyewa kapal pemadam kebakaran. Karir Herklots dimulai ketika ia berangkat ke Jeddah pada 27 Februari 1893.

Seperti yang kita bahas dalam artikel tentang Haji Zaman Belanda, saat itu dia pergi ke Jeddah atas nama Knowles & Co Firm di Batavia. Dalam menjalankan bisnisnya yang licik, ia dibantu oleh saudaranya, WH Herklots. Sesampainya di Jeddah, Herklots bersaudara mendirikan biro haji sendiri. Setelah mendapat izin dari pemerintah setempat, legalitas yang sudah dikantongi semakin membuka jalan bagi saudara-saudara Herklots untuk meraup untung melalui ritual suci haji.

Caranya adalah dengan meminta jemaah uang tambahan di luar biaya yang ditetapkan. Kenakalan Herklots menyebabkan banyak orang kehilangan uang. Herklots juga terlibat dalam perbudakan dan kejahatan lainnya.