Sebelum Rusia Larang Ukraina, Protes Anti-NATO Pernah Ada di Masa Lalu Hingga Terjadi Perang Dingin

Rizka 10 Apr 2022, 04:32
Google
Google

RIAU24.COM -  Rusia telah lama menuntut agar Ukraina tetap "netral" sehubungan dengan perluasan aliansi militer Barat, NATO.

Faktanya, hal ini merupakan "alasan utama" invasi Rusia ke Ukraina. Rusia meminta Ukraina menuliskan ke dalam konstitusinya sebuah janji supaya tidak pernah bergabung dengan NATO dan menandatangani perjanjian bilateral dengan Rusia guna memperkuat posisi ini.

Tuntutan itu disambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang bersedia mengkompromikannya. 

Kendati berbeda, tuntutan untuk tidak masuk NATO juga pernah disuarakan tepat 73 tahun silam (30 Maret 1949). Tuntutan itu bahkan sampai menimbulkan kerusuhan. Tuntutan itu dilakukan sebagian warga Islandia di ibukota Reykjavik.

Kendati NATO belum resmi didirikan, Islandia menjadi salah satu negara yang aktif membidani kelahiran pakta pertahanan Atlantik Utara tersebut. Islandia yang tidak memiliki militer dan terus mempertahankan sikapnya itu, melihat perlunya membuat sebuah kerjasama regional di tengah ancaman baru pascaperang yang datang dari agresivitas Uni Soviet. Kekhawatiran yang sama juga dialami negara-negara Benelux (Belgia, Belanda, Luxemburg) sehingga ketiganya bersama Inggris dan Prancis membentuk kerjasama yang ditandatangani di Brussel (Treaty of Brussels), Belgia pada 17 Maret 1948.

Lantaran dianggap terlalu lemah untuk menghadapi kedigdayaan militer Soviet yang pada akhir tahun 1948 juga berperan dalam kudeta di Cekoslowakia, para penandatangan Perjanjian Brussel pun berupaya menggandeng Amerika Serikat (AS). Audiensi dengan Pentagon dilakukan para pemimpin negara penandatanganan Perjanjian Brussel.

“Menteri Luar Negeri Inggris Ernest Bevin menegaskan bahwa cara terbaik untuk mencegah Cekoslowakia lain adalah dengan mengembangkan strategi militer bersama,” sambung Neari.

Islandia, yang baru resmi merdeka sekira tiga tahun, ikut serta dalam pertemuan di Pentagon itu. Adalah Menlu Bjarni Benediktsson yang menjadi motornya.

“Rakyat saya tidak bersenjata dan tidak bersenjata sejak zaman nenek moyang Viking kami. Kami tidak memiliki atau tidak dapat memiliki tentara. Tapi negara kami, dalam keadaan tertentu, sangat penting untuk keselamatan wilayah Atlantik utara,” kata Menlu Islandia Bjarni Benediktsson, pendorong utama keterlibatan Islandia dalam NATO, saat pidato di acara penandatanganan pendirian NATO.

Apa yang dilakukan Menlu Bjarni mengkhawatirkan beberapa kalangan di dalam negeri Islandia. Ikut NATO berarti terlibat dalam Perang Dingin dan konfrontasi langsung dengan Uni Soviet. Itu bukan hanya bertentangan dengan tradisi damai bangsa Islandia yang telah turun-temurun, akan mengancam nilai-nilai tradisi lain yang telah berkembang di Islandia.

Kekhawatiran itu menggerakkan ratusan aktivis kiri dan nasionalis untuk mengadakan protes ke gedung parlemen pada 30 Maret 1949. Pada hari itu, parlemen Islandia (Althingi) bersidang untuk menentukan apakah Islandia akan bergabung dengan NATO atau tidak.

Rencana tersebut sampai ke “telinga” pemerintah. Selain perintah kepada aparat keamanan, seruan untuk menjaga gedung parlemen juga dikeluarkan pemerintah kepada warga ibukota.

Pada hari-H, massa penentang NATO pun bergerak. Setelah berkumpul di belakang sebuah sekolah, mereka bergerak ke taman Austurvöllur yang terletak di depan gedung parlemen. Mereka pun bertemu dengan massa pro NATO dan aparat keamanan yang berjaga di sekitar gedung.

Susana damai berubah kacau setelah pengumuman dikeluarkan seorang anggota terkemuka Partai Sosialis yang mengatakan bahwa pemimpin partainya disandera di dalam gedung parlemen. Massa penentang NATO pun berubah menjadi beringas. Batu-batu dan telur dilempari massa penentang NATO hingga memecahkan kaca jendela dan hampir mengenai presiden parlemen. Polisi terpaksa menggunakan tongkat plastik dan gas air mata yang baru pertama kali digunakan di Islandia dan baru digunakan lagi pada pengamanan demonstrasi Januari 2009 untuk mengatasi keadaan.

Kondisi tersebut tak menghentikan sidang di dalam gedung. Parlemen akhirnya memutuskan Islandia bergabung dengan NATO kendati kericuhan di luar gedung masih terjadi hingga beberapa jam kemudian.

Kendati demonstrasi itu gagal, ia menjadi “bahan bakar” bagi bergeloranya gerakan anti-NATO di Islandia.

Bahkan, jauh setelah Perang Dingin usai, para pendukung anti-NATO tetap eksis di Islandia. Dalam demonstrasi Januari 2009 sehubungan dengan ambruknya ekonomi Islandia, beberapa aktivis tua anti-NATO melibatkan diri.

Gerakan anti-NATO belum dilupakan, tetapi semakin kuat selama mobilisasi. Anda akan melihat orang-orang muda bergabung dalam demonstrasi, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah tindakan terkuat yang pernah Anda lihat selama bertahun-tahun. Karena mereka melibatkan lebih banyak orang, orang-orang yang lebih muda. Anda akan melihat nenek-nenek ini, para perempuan tua ini, memprotes begitu saya melihat sekelompok dari mereka mengenakan topeng di wajah mereka seperti topeng para anarkis, tiba-tiba bahkan yang lebih tua pun mengenakan syal dan topeng,” kata salah seorang demonstran, dikutip Donatella dan kawan-kawan.