Perkembangan Kasus PMK di Indonesia, Masyarakat Khawatir Idhul Adha Sebentar Lagi

Zuratul 15 Jun 2022, 11:28
Ilustrasi/tirto.id
Ilustrasi/tirto.id

RIAU24.COM - Sejak pertama kali terdeteksi akhir April 2022 di Jawa Timur, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) terus menebarkan teror, dengan kecepatan yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Pada 11 Mei 2022, Kementerian Pertanian menetapkan enam kabupaten di dua provinsi terjangkit wabah PMK, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur (Provinsi Aceh) serta Gresik, Sidoarjo, Lamongan, dan Mojokerto (Jawa Timur).

Saat itu, mengutip data Kementan, ternak yang terinfeksi PMK di Jawa Timur sebanyak 3.205 ekor dengan kematian mencapai 1,5%. Sementara kasus positif PMK di Provinsi Aceh sebanyak 2.226 ekor dengan kasus kematian satu ekor.

Persis sebulan setelah penetapan wabah PMK itu, atau 11 Juni, sebanyak 136.894 ekor hewan dinyatakan terjangkit, meningkat 24 kali lipat.

Data dari laman Siagapmk.id itu mencakup 35.804 ekor yang sudah sembuh, 834 ekor dipotong bersyarat, 635 ekor mati, dan 99.621 ekor belum sembuh. Kasus PMK kemudian terdeteksi di 179 kabupaten/kota di 18 provins, kemungkinan ada perubahan data dalam waktu dekat. 

Memang benar tingkat mortalitas (kematian), terutama pada sapi dewasa, rendah: hanya 1-2%. Akan tetapi, data-data di atas menunjukkan bahwa PMK adalah penyakit yang harus ditakuti karena tingkat penyebarannya amat cepat.

Yang mengkhawatirkan, wabah PMK sudah menyebar di provinsi utama dengan populasi sapi terbesar: Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan Lampung.

Di lima provinsi ini, jumlah sapi potong mencapai 9,924 juta ekor atau 54,9% dari total populasi. Jawa Timur, provinsi dengan populasi sapi terbesar, yakni 4,938 juta (27,4%), PMK menyebar di 31 dari 38 kabupaten/kota.

Jawa Tengah dengan populasi sapi terbanyak kedua, yakni 1,863 juta (10,3%), juga menyebar masif: 32 dari 35 kabupaten/kota. Di Jawa Barat, PMK menyebar di 24 dari 26 kabupaten/kota.

Untuk mengendalikan dan mencegah penyebaran PMK, Kementerian Pertanian memang telah menerbitkan surat edaran pengaturan lalu lintas (darat, laut, dan udara) hewan rentan, produk hewan, dan media pembawa yang berisiko tinggi.

Juga surat edaran tata laksana kurban dan pemotongan hewan dalam situasi wabah PMK. Panduan ini penting agar ada keseragaman. Karena kebijakan masing-masing lembaga pemerintah, termasuk provinsi, kabupaten/kota beraneka macam..

PMK Sering Dianggap Tidak Penting

Menurut regulasi yang ada, kesehatan hewan bukan urusan wajib bagi daerah. Dampak ikutannya, tidak banyak daerah menganggap kesehatan hewan sebagai urusan penting.

Kala wabah terjadi, aktivitas pengendalian dan pencegahan PMK sulit dilakukan karena tak ada dana darurat. Sejauh yang bisa diamati, pengendalian dan pencegahan penularan PMK relatif terjaga untuk antar-pulau.

Sementara pengendalian dan pencegahan penularan di dalam pulau relatif sulit dilakukan. Banyaknya akses "jalan tikus" mensyaratkan pengawasan esktra ketat di dalam pulau.

Sementara publik tahu ada kelemahan serius dalam aspek pengawasan. Sebagai mayoritas pemilik populasi ternak, peternak terkaget-kaget. Mereka tidak tahu apa-apa ihwal kebijakan minimum security seperti diatur dalam UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Yang mereka tahu, ternaknya sakit atau mati.

Pemerintah memang menyediakan obat-obatan dan vitamin. Tapi jumlahnya amat terbatas. Di tengah kebingungan dan keterbatasan, peternak berupaya menyelamatkan ternaknya sebisa mungkin.

Asuransi ternak sebenarnya bisa jadi perisai dan penolong. Sayangnya, PMK tidak masuk dalam skema penyakit yang ditanggung asuransi. Ujung-ujungnya, peternak jadi pihak yang paling dirugikan, dengan dampak berupa kematian ternak, turunnya produktivitas, biaya pengobatan, dan ongkos biosekuriti.

Betapa peternak terpukul bisa dilihat dari data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Produktivitas susu per-ekor sapi perah terjangkit PMK menurun antara 15-85%.

Susu dari sapi perah yang diobati antibiotik ditolak oleh industri pengolah susu. Untuk melindungi peternak, koperasi tetap membeli susu peternak meski tak bisa dijual lagi. Ini mengganggu cash flow koperasi.

Yang mengkhawatirkan, 58 koperasi persusuan di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sudah ditemukan PMK. Sapi perah yang sudah tak bisa berdiri karena PMK hanya laku Rp2,5-3 juta. Padahal, modalnya Rp25-30 juta.

Sudah seringkali diingatkan, industri peternakan adalah industri yang ditopang oleh peternak kecil, dilansir dari cnnindonesia.com.

Berbeda dari Australia, lebih dari 98% ternak di Indonesia dikuasai 6,5 juta peternak kecil dengan skala kepemilikan 2-3 ekor per peternak.

Ternak dipelihara di belakang rumah. Peternak memberi makan di sisa waktu setelah usaha pokok selesai. Untuk sapi potong misalnya, hanya kurang 2% sapi dikuasaiperusahaan ternak besar, seperti para feedloter. Yang dipelihara pun sapi bakalan dari Australia.

Struktur industri peternakan domestik untuk semua ternak, termasuk sapi, sebagian besar (60%-98%) dilakukan usaha rakyat dan sambilan, berpendidikan rendah, pendapatan rendah, manajemen dan teknologi konvensional, dan tenaga kerja keluarga.

Bagi mereka, ternak dianggap "rojo brono" atau "rojo koyo". Dua kosa kata itu kira-kira sama dengan aset yang likuid. Mereka tidak menjual ternak meski harga di pasaran tinggi. Mereka baru melepas ternak bila ada kebutuhan yang amat-amat mendesak.

Iduladha di Depan Mata

Salah satu momentum yang ditunggu peternak, baik sapi maupun kambing, adalah Iduladha. Pada Hari Raya Kurban itu harga sapi dan kambing naik tinggi.

Ini momentum setahun sekali yang dinantikan. Apalagi, tahun 2022 ini Iduladha beriringan dengan tahun ajaran baru sekolah. Pada tahun ajaran baru sekolah, keluarga yang memiliki anak usia sekolah pasti memerlukan anggaran besar.

Sayangnya, momentum yang dinantikan untuk menjual ternak peliharaan itu sirna disapu wabah PMK. Harga sapi yang dipotong paksa karena PMK, misalnya, turun berkisar 40-70%. Modal awal bisa jadi tidak kembali.

Dalam situasi demikian, negara harus hadir sebagai penolong. Seperti didorong banyak pihak, sebaiknya pemerintah segera menetapkan PMK sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Penetapan KLB kemudian diikuti pembetukan satuan tugas (satgas) di berbagai level, dari nasional hingga di level pemerintahan paling bawah.

Pembentukan satgas memungkinkan pemerintah memobilisasi anggaran dari berbagai sumber. Tidak lagi hanya mengandalkan anggaran Kementerian Pertanian.

Anggaran yang memadai salah satunya bisa dialokasikan untuk mengganti peternak yang ternaknya dimusnahkan.