Romo Magnis Suseno Nilai Richard Eliezer Dilema Moral, Lawan Batin atau Sambo? 

Zuratul 27 Dec 2022, 09:08
Potret Romo Magnis yang Jadi Ahli untuk Eliezer atau Bharada E dalam Kasus Sambo. (Twitter/Foto)
Potret Romo Magnis yang Jadi Ahli untuk Eliezer atau Bharada E dalam Kasus Sambo. (Twitter/Foto)

RIAU24.COM - Tim penasihat gukum terdaksa Richard Eliezer atau Bharada E menghadirkam Guru Besar Filsafat Moral, Romo Magnuis Suseno sebagai ahli yang meringankan dalan persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. 

Ketua tim Penasihat Hukum Bharada E, Ronny Talapessy mengungkapkan, Romo Magnis dihadirkan untuk menjelaskan konflik moral yang dirasakan Richard Eliezer ketika melakukan penembakan terhadap Brigadir J. 

“Kenapa kita hadirkan beliau? Karena kita mau sampaikan bahwa terjadi konflik moral yang besar, dilema moral yang dihadapi oleh Richard Eliezer ketika harus menembak almarhum Yosua,” ujar Ronny ditemui sebelum persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022). 

Sebagaimana diketahui, Romo Magnis Suseno adalah tokoh Agama Katolik sekaligus budayawan. 

Ia juga merupakan Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat (STF) Driyarkara. 

Romo Magnis telah menerbitkan sejumlah buku di antaranya Kuasa dan Moral (1986), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (1989), dan Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (2016).

Dilema moral Bharada E 

Dalam persidangan, Romo Magnis mengungkapkan bahwa terdakwa Bharada E mengalami dilema moral saat diperintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. 
Menurut Romo Magnis, Richard berada dalam dua sisi saat mendapatkan perintah dari mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu untuk menembak Yosua. 

Di satu sisi, perintah tersebut menyalahi etika dan moral. Namun, di sisi lain ada budaya ‘siap laksanakan’ atas perintah seorang atasan. 

Di titik ini, Bharada E hanya seorang Bhayangkara tingkat dua (Bharada) yang diperintah oleh Kadiv Propam Polri saat itu berpangkat Inspektur Jenderal Polisi (Irjen) dengan bintang dua di pundaknya. 

“Dia bingung karena berhadapan dengan dua norma yang satu mengatakan menembak mati orang yang sudah tidak berdaya tidak bisa dibenarkan," kata Romo Magnis. 

"Yang kedua dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah yang wajib ditaati supaya melakukannya, lalu dia harus mengikuti yang mana,” terang Romo Magnis. 

Romo Magnis lantas menyampaikan bahwa secara etika normatif, Bharada E harus menolak perintah menembak Yosua. 

Namun, di sisi lain, Richard juga dihadapkan dengan relasi kuasa Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam saat itu yang tidak mungkin ditolak perintahnya.

“Tipe perintah yang amat sulit secara psikologis dilawan, karena siapa dia? Mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah (Bharada E) sudah biasa dilakukan (perintah)," ujar Romo Magnis. 

"Meskipun dia (Bharada E) ragu-ragu, dia bingung, itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan," tambah Romo Magnis. 

Jangan mengutuk Romo Magnis pun menilai, tidak seharusnya Bharada E disalahkan sepenuhnya dalam peristiwa penembakan yang menewaskan Brigadir J. 

Ia berpandangan, dalam sisi etika moral, Bharada E dihadapkan kondisi bingung dan tak tahu harus berbuat apa ketika diperintahkan oleh atasannya. 

"Dari sudut etika (Bharada E) dalam situasi bingung, menurut saya, jangan begitu saja mengutuk atau mempersalahkan dia (Bharada E) obyektif dia salah," kata Romo Magnis. 

"Dia harus melawan, tapi apakah dia bisa mengerti? Dan dalam etika, pengertian kesadaran itu merupakan unsur kunci," jelasnya. 

Dua unsur meringankan Romo Magnis menilai, terdapat dua unsur yang dapat meringankan Richard Eliezer terkait tindakannya melaksanakan perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. 

Ia berpendapat, unsur pertama yang dapat meringankan adalah kedudukan Richard sebagai anggota Polri berpangkat rendah yakni Bharada. 

Menurut Romo, pangkat rendah Bharada E yang ketika itu berhadapan dengan eks Kadiv Propam Porli membuatnya terpaksa utuk melaksanakan perintah atasannya tersebut. 

“Budaya laksanakan (perintah) itu adalah unsur yang paling kuat,” kata Romo. 

Menurut Romo Magnis, perbedaan pangkat antara Bharada E dengan Ferdy Sambo membuatnya mengalami dilema moral terhadap tindakan melaksanakan perintah untuk menembak Brigadir J.

(***)