Waduh! Purnawirawan TNI Didakwa Merugikan Negara Sebesar Rp 453 Miliar, Korupsi Pengadaan Satelit di Kemhan

Zuratul 2 Mar 2023, 15:16
Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp453,094 miliar dari korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) pada Kemhan tahun 2012-2021. (detik.com/Foto)
Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp453,094 miliar dari korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) pada Kemhan tahun 2012-2021. (detik.com/Foto)

RIAU24.COM - Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemhan) periode Desember 2013-Agustus 2016 Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp453,094 miliar dari korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) pada Kemhan tahun 2012-2021. 

Perbuatan itu dilakukan bersama-sama mantan Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK), Arifin Wiguna, dan Direktur Utama PT DNK Surya Cipta Witoelar yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.

zxc1 
 
"Merugikan keuangan negara yang keseluruhannya sebesar Rp453.094.059.540,68 sesuai dengan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," kata penuntut koneksitas saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Kemayoran, Kamis, 2 Maret 2023.

Penuntut koneksitas yakni komposisi jaksa penuntut umum dan oditur militer dalam menuntut para terdakwa. Terdapat terdakwa yang berasal dari prajurit TNI serta sipil.

Kasus itu bermula saat perusahaan Amerika Serikat, Lockheed Martin, mengirimkan surat yang ditandatangani oleh Bary Noakes kepada CEO Asia Cellular Satellite (AceS) pada 7 Januari 2015. Surat itu menyatakan pendorong Satelit Garuda-1 mengalami keadaan yang tidak normal (thruster anomalies). Selain itu, bahan bakar (hydrazine) pada Satelit Garuda-1 telah habis.

Kondisi itu menyebabkan satelit tidak dapat melakukan manuver menjaga stasiun (station keeping) untuk tetap di slot orbitnya. Sehingga, Lockheed Martin merekomendasikan penonaktifan (decommission) Operasi Satelit Garuda-1.

Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara menyatakan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT diserahkan ke Kemhan. Sementara, Kemhan tidak punya anggaran untuk pengadaan pengganti Satelit Garuda-1.

Lalu, Arifin meyakinkan Agus untuk diupayakan pengadaan itu. Arifin, Surya, dan Thomas Anthony Van Der Heyden selaku Senior Advisor PT DNK juga memulai kampanye Indonesia terancam kehilangan slot orbit 123 derajat BT dan selamanya bergantung pada satelit asing hingga kedaulatan komunikasi juga disebutkan bakal hilang.

Lebih lanjut, Agus menyetujui menyewa Satelit Artemis. Agus diminta oleh Arifin dan Surya serta Thomas untuk menandatangani kontrak tersebut. Agus sejatinya tak punya kewenangan itu.

"Terdakwa I Laksamana Muda TNI Purnawirawan Agus Purwoto tidak berkedudukan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK). Sehingga tidak sesuai dengan tugas pokok dan tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak," jelas penuntut koneksitas.

Agus disebut tidak pernah mendapat penunjukan sebagai PPK dari pengguna anggaran (PA). Selain itu, penandatanganan kontrak tersebut sejatinya belum tersedia anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemhan.

"Belum ada rencana umum pengadaan barang/jasa, belum ada Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (TOR), dan belum ada Harga Perkiraan Sendiri (HPS), tidak ada proses pemilihan penyedia barang/jasa," kata penuntut koneksitas.

Selain itu, wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filling atau pengarsipan satelit di Slot Orbit 123 derajat BT. Spesifikasi Satelit Artemis juga tak sesuai.

"Satelit Artemis memiliki spesifikasi yang berbeda dengan Satelit Garuda-1," ucap penuntut koneksitas.

Terhadap kasus itu, Agus, Arifin, dan Surya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

(***)