Dilema Pelarangan Thrifting Bagi Anak Muda di Semarang: Bakal Susah, Kita Suka Barang Bagus dengan Harga Murah

Devi 24 Mar 2023, 12:12
Foto : Suara.id
Foto : Suara.id

RIAU24.COM - Belum lama ini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengeluarkan larangan impor pakaian bekas atau thrifting yang sedang marak. 

Hal itu menuai respons dari banyak kalangan, khususnya kaum muda penyuka thrifting.

Zahrina (25), pegawai swasta di Semarang mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut. 

Pasalnya sebagai penyuka fesyen, thrifting dianggap menjadi solusi mix and match pakaian bagus dengan biaya murah. 

“Jadi aku lebih suka nge-thrift, di harga yang murah aku bisa dapet barang yang kualitasnya bagus,” ujarnya melalui pesan singkat, Jumat (17/3/2023). 

Menurutnya, pakaian hasil thrifting tak kalah bagus dengan pakaian baru. 

Bahkan kualitasnya jauh lebih baik dibanding pakaian baru jenis fast fashion. 

 “Misalnya beli pakaian yang harga Rp 35.000-an itu bahannya jelek banget, panas, kualitas enggak oke sama sekali, terus banyak yang ngembarin lagi, jadi ya mending nge-thrift,” bebernya. 

Perempuan asal Kudus itu juga mengaku bila bosan dengan pakaiannya, ia menyumbangkan atau memberikan kepada sanak saudara karena kualitas pakaian miliknya terbilang bagus dan layak. 

“Nah kalau yang baju lokal yang murah under Rp 50.000 gitu gampang rusak, kalau aku bosen atau robek gitu ya dibuang atau buat lap keset di rumah,” imbuhnya. 

Sebagai penyuka thrifting, ia melihat tren itu kini merembet ke produk tas dan sepatu bekas bermerek. Sehingga akan sulit meniadakan bisnis thrifting yang justru semakin diminati. 

"Bakal susah sih itu, mesti masih banyak yang umpet-umpetan. Mana sekarang lagi marak banget thrifting, enggak cuma baju, ada sepatu, tas, dan lainnya. Ya gimana ya namanya juga orang Indonesia suka barang bagus harga murah,” katanya. 

Senada, mantan pecinta thrifting, Arina Hasbana (25) mengakui kelebihan thrifting yakni model pakaian terbatas dan tidak pasaran seperti produk fast fashion. 

Namun, Arina kini berhenti menggemari thrifting karena harga produk semakin hari semakin mahal dan tidak masuk akal baginya. 

Warga Gunungpati itu mengaku setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menertibkan bisnis thrifting agar tidak mematok harga seenaknya. 

“Jadi aku setuju aja kalau pemerintah dukung industri tekstil, tapi aku enggak mendukung mereka yang bikin fast fashion karena sama aja tho kalau kita melarang impor tapi memproduksi banyak pakaian, jadi limbahnya bakal sama besar sih menurutku,” tegasnya.

Hal ini sama dengan pendapat warga Simongan, Elmira Shezan (25).

Ia turut mendukung bila adanya kebijakan larangan impor baju bekas itu bertujuan mendorong bisnis industri tekstil di Indonesia. 

Untuk itu, ia menilai produsen fesyen lokal perlu meningkatkan kualitas dan tidak mengejar tren sesaat dengan produksi masif dalam fast fashion. 

Sehingga, pecinta fesyen berhenti thrifting dan membeli produk lokal. 

"Harusnya, produk-produk Indonesia lebih ditingkatkan agar masyarakat Indonesia memiliki daya tarik untuk membeli produk local,” bebernya. 

Meski kecewa bila dirinya tak lagi bisa berburu barang bermerek dari hasil thrifting, Elmira berharap pemerintah serius mengembangkan industri tekstil. ***