Apa Itu IOD? Tandem El Nino yang Diprediksi Bikin RI Kering

Zuratul 10 Jun 2023, 21:55
Apa Itu IOD? Tandem El Nino yang Diprediksi Bikin RI Kering. (Pixabay/Foto)
Apa Itu IOD? Tandem El Nino yang Diprediksi Bikin RI Kering. (Pixabay/Foto)

RIAU24.COM - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan kondisi kemarau kering di Indonesia bukan hanya dipengaruhi oleh El Nino, namun ada faktor Indian Ocean Dipole (IOD). Fenomena apa ini?

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan intensitas El Nino semakin menguat di Indonesi dan IOD terdeteksi semakin menguat ke arah positif sehingga kemarau tahun ini seperti fenomena yang terjadi 2019.

Kombinasi El Nino dan IOD yang menguat itu, kata dia, mengakibatkan kondisi kemarau lebih kering di wilayah Indonesia.

Dipol Samudra Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD) adalah fenomena iklim yang terjadi di Samudra Hindia. IOD didefinisikan sebagai perbedaan suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) antara wilayah Timur dan Barat Samudra Hindia.

IOD dapat secara signifikan memengaruhi pola cuaca dan iklim di wilayah sekitarnya, termasuk sebagian wilayah Afrika, Asia Tenggara, dan Australia.

Oleh karena itu, indeks iklim IOD diawasi secara ketat oleh para peramal cuaca, karena dampak fenomena ini terhadap rentang waktu sub-musiman dan musiman.

Dikutip dari World Climate Service, IOD dapat dianggap sebagai cabang Samudra Hindia dari Cell Walker, yang terkait dengan Osilasi Selatan El Nino (El Niño-Southern Oscillation/ENSO).

IOD didefinisikan oleh Dipole Mode Index (DMI), yang merupakan ukuran gradien anomali suhu permukaan laut (SST) antara Samudra Hindia ekuator bagian barat (50E-70E dan 10S-10N) dan Samudra Hindia ekuator bagian tenggara (90E-110E dan 10S-0N).

Perubahan suhu samudra di Samudra Hindia bagian barat dan Samudra Hindia bagian timur (yaitu dipol) mendorong konveksi dan mengubah sirkulasi Cell Walker.

Dipol Samudra Hindia umumnya bergerak sejalan dengan fase Osilasi Selatan El Nino (ENSO), namun ada kalanya dipol dapat muncul dengan sendirinya selama ENSO netral, seperti peristiwa positif kuat pada 2019.

Perbedaan lainnya adalah ENSO biasanya mencapai puncaknya pada musim dingin di Belahan Bumi Utara, sedangkan IOD dapat mencapai puncaknya kapan saja sepanjang tahun.

Dampak IOD tidak hanya dirasakan di daerah tropis, tetapi juga dapat memengaruhi pola cuaca di sebagian besar daerah lintang tengah.

Seperti El Nino dan La Nina, IOD berdampak pada daerah yang lebih disukai untuk naik dan turunnya udara di samudra tropis India.

1. Fase Negatif IOD

Fase Negatif IOD didorong oleh SST yang lebih dingin dari biasanya di lepas pantai Afrika dan SST yang lebih hangat dari biasanya di sebelah barat Indonesia.

Konfigurasi suhu permukaan laut ini memberikan dorongan pada sirkulasi normal. 

Sirkulasi yang lebih kuat membawa angin baratan yang lebih konsisten di atas lautan, konveksi yang lebih kuat di atas Indonesia, dan kondisi kekeringan di wilayah Afrika.

Pola ini konsisten dengan fenomena La Niña atau kemarau basah (fase negatif ENSO).

2. Fase Positif IOD

Fase positif IOD didorong oleh SST yang lebih hangat dari biasanya di lepas pantai Afrika dan SST yang lebih dingin dari biasanya di sebelah barat Indonesia.

Konfigurasi suhu permukaan laut ini membalikkan sirkulasi normal dengan terbentuknya angin timuran di Pasifik ekuator.

Sirkulasi berbalik menekan konveksi di atas Indonesia, dan menyebabkan cuaca yang sangat kering dan potensi kekeringan.

Di atas wilayah Afrika, konveksi meningkat dan curah hujan jauh lebih banyak dari biasanya. Pola ini konsisten dengan El Nino (fase positif ENSO).

Prakiraan jangka panjang

Dipol Samudra Hindia biasanya tetap berada dalam fase tertentu dari beberapa minggu hingga beberapa bulan. Dengan demikian, IOD merupakan indeks iklim musiman.

Pada pertengahan Februari 2023, indeks iklim IOD mencapai 0,84, namun berosilasi di sekitar nol pada pertengahan Februari 2023.

(***)