Imunisasi HPV Dituding Jadi Alat Pembunuhan Massal, Ini Kata Kemenkes

Devi 11 Aug 2023, 09:15
   Imunisasi HPV Dituding Jadi Alat Pembunuhan Massal, Ini Kata Kemenkes
Imunisasi HPV Dituding Jadi Alat Pembunuhan Massal, Ini Kata Kemenkes

RIAU24.COM - Baru-baru ini beredar informasi yang mengklaim kalau imunisasi human papillomavirus (HPV) yang diberikan secara gratis adalah kedok untuk pembunuhan massal. Menanggapi hal tersebut, Kemenkes menegaskan informasi yang beredar itu adalah palsu alias hoaks.

Imunisasi HPV diberikan secara gratis untuk melindungi perempuan Indonesia dari risiko kanker serviks atau kanker leher rahim sejak dini. Pasalnya, kanker serviks merupakan penyebab kematian tertinggi kedua pada wanita di Indonesia setelah kanker payudara.

Terkait informasi hoaks itu, Kemenkes menegaskan kalau penyebar berita bohong akan dijerat UU ITE dan bisa mendapat ancaman hukuman paling lama 6 tahun.

"Karena penyebar berita bohong atau hoax telah diatur dalam UU ITE dengan ancaman hukuman atau pidana paling lama 6 tahun," tulis Kemenkes lewat akun Twitternya, Rabu (9/8/2023).

Kemenkes juga mengingatkan masyarakat untuk mengecek kebenaran informasi yang diterima, dan memastikan informasi itu berasal dari sumber yang terpercaya.

"Informasi resmi Kementerian Kesehatan bisa kamu dapatkan melalui website atau sosial media resmi Kementerian Kesehatan," ujar Kemenkes.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI dr Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan sasaran vaksinasi HPV tahun ini akan diperluas di lebih dari 200 kabupaten dan kota, termasuk daerah terpencil. Pada hari Rabu (9/8) kemarin, pencanangan vaksinasi HPV turut dilakukan di Minahasa.

Untuk diketahui, vaksinasi HPV termasuk dalam program imunisasi yang diberikan kepada anak perempuan di kelas 5 dan 6 sekolah dasar. 

Sebab, angka kematian akibat kanker leher rahim selama ini relatif tinggi, yakni di angka 60 persen dari jumlah kasus.

"Di Indonesia ini yang tercatat saja, hampir 40 ribu setiap tahun, itu yang tercatat, yg meninggal, case fatality ratenya itu 60 persen, jadi 20 ribu meninggal karena datang sudah terlambat," beber dr Maxi dalam konferensi pers di Tondano, Rabu (8/9).