Subsidi Tak Berhasil, Ternyata Ini Alasan Singapura Diguncang Resesi Seks 

Zuratul 23 Sep 2023, 16:22
Subsidi Tak Berhasil, Ternyata Ini Alasan Singapura Diguncang Resesi Seks. (CNBCIndonesia/Foto)
Subsidi Tak Berhasil, Ternyata Ini Alasan Singapura Diguncang Resesi Seks. (CNBCIndonesia/Foto)

RIAU24.COM -Fenomena resesi seks semakin parah. Setelah bertahun-tahun mengalami penurunan, angka kelahiran di Singapura mencapai rekor terendah pada tahun 2022.

Menurut para analis, angka kelahiran hidup anjlok sebesar 7,9% pada tahun lalu. 

Penurunan ini terjadi akibat tingginya biaya hidup di negara tetangga RI tersebut, menyebabkan banyak orang ogah menambah anggota keluarga.

Penurunan ini juga dipicu tren kesuburan pada perempuan di negara itu. 

Data Departemen Statistik Singapura menunjukkan wanita berusia antara 25 dan 29 tahun kini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melahirkan dibandingkan wanita berusia antara 35 hingga 39 tahun.

"Memiliki anak terikat pada banyak hal - keterjangkauan rumah, pasangan, dan kematangan pasar kerja yang membuat Anda merasa cukup aman untuk melakukannya," kata Jaya Dass, direktur pelaksana Ranstad Asia-Pasifik, seperti dikutip CNBC International.

"Daya tarik ingin memiliki anak sebenarnya berkurang secara signifikan karena kehidupan telah semakin matang dan berubah," kata Dass.

Menanggapi fenomena ini, Pemerintah Singapura pun mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif dan bonus untuk mendorong masyarakat memiliki anak.

Pasangan yang memiliki bayi yang lahir pada tanggal 14 Februari akan menerima masing-masing SG$11.000 (Rp123 juta) untuk anak pertama dan kedua, dan SG$13.000 (Rp146 juta) untuk anak ketiga dan seterusnya. 

Bonus ini meningkat sebesar 30% hingga 37% dari sebelumnya.

Selain itu, cuti ayah yang dibayar pemerintah ditingkatkan dua kali lipat, meningkat dari dua menjadi empat minggu bagi ayah dari bayi yang lahir pada tahun 2024.

Namun Wen Wei Tan, analis di Economist Intelligence Unit (EIU), mengatakan kebijakan bonus untuk mengatasi masalah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah.

"Mengatasi tingkat kesuburan mengharuskan kita untuk menghadapi beberapa kelemahan sistem yang mendasarinya... Yang berarti tidak hanya mengatasi tantangan demografis, namun juga membantu membangun kohesi sosial, dan mungkin melihat bagaimana kita dapat menumbuhkan sikap yang lebih sehat terhadap pengambilan risiko," kata Tan.

Kota Termahal

Pada tahun 2022, EIU menempatkan Singapura sebagai kota termahal untuk ditinggali, berbagi posisi teratas dengan Kota New York, Amerika Serikat (AS).

Tak heran jika memiliki rumah bersama menjadi tantangan bagi pasangan muda. 

Menurut data CEIC, harga rumah di negara kota tersebut terus meningkat pesat, meningkat sebesar 7,5% year to year pada Juni 2023.

Apartemen perumahan umum, yang dikenal secara lokal sebagai flat HDB, juga memiliki permintaan yang tinggi tetapi pasokannya tidak mencukupi.

Mu Zheng, asisten profesor di departemen sosiologi dan antropologi di National University of Singapore, mengatakan hal ini hanyalah sebagian dari masalahnya, karena masih banyak biaya lain yang terkait dengan membesarkan anak di Singapura.

"Ada perasaan ketidakstabilan yang menyeret orang semakin jauh dari memiliki anak," kata Zheng.

Working Mom

Tingginya biaya hidup di Singapura menyebabkan semakin banyaknya pasangan yang memiliki dua pendapatan (income) dan tidak memiliki anak.

Hal ini juga disebabkan oleh perubahan pola pikir dan semakin banyak pasangan yang bersedia mendahulukan karier mereka daripada menikah dan memiliki anak.

"Setelah perempuan mempunyai anak, mereka akan melihat perlambatan dalam kemajuan karir mereka. Banyak dari mereka yang mengambil keputusan untuk menunggu sampai mereka merasa aman dan stabil dalam pekerjaannya sehingga tidak ada ancaman serius terhadap pendapatan mereka jika mereka mengambil cuti dari pekerjaan," kata Tan Poh Lin, peneliti senior di Institute of Policy Studies, Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew.

Dass menyebut menunda pernikahan berarti orang-orang mungkin mendapat lebih banyak kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi, sehingga menyebabkan beberapa orang menjadi lebih selektif dan memiliki harapan lebih besar terhadap pasangan mereka di masa depan.

Pada tahun 2022, 36,2% penduduk berusia 25 tahun ke atas memiliki gelar sarjana, dibandingkan dengan 25,7% pada dekade lalu.

(***)