Ekonomi Dunia Kacau Gegara AS, Begini Kata BI Soal Nasib Indonesia ke Depan 

Zuratul 4 Oct 2023, 15:17
Ekonomi Dunia Kacau Gegara AS, Begini Kata BI Soal Nasih Indonesia ke Depan. (X/Foto)
Ekonomi Dunia Kacau Gegara AS, Begini Kata BI Soal Nasih Indonesia ke Depan. (X/Foto)

RIAU24.COM -Indeks dolar Amerika Serikat atay DXY yang terus menguat diiringi dengan semakin tingginya imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun membuat aliran modal asing dan nilai tukar mata uang termasuk rupiah melemah drastis. 

Bahkan saat ini telah menembus ke level 15.630 per dolas AS. 

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan, kondisi itu dipicu oleh pernyataan-pernyataan anggota dewan gubernur Bank Sentral AS The Federal Reserve yang mengindikasikan tekanan inflasi di AS masih ketinggian, menyebabkan tren suku bunga acuan Fed Fund Rate masih terus berpotensi mengetat dengan kenaikan di luar ekspektasi pelaku pasar keuangan.

"Ternyata inflasi masih jauh di atas harapan mereka, kemudian ada tekanan harga minyak yang membuat mereka jadi jittery, kemudian upah di sektor yang perkembangannya cepat, yakni sektor jasa ternyata tenaga kerjanya terbatas, sehingga upah naik," kata Destry di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (4/10/2023).

Parahnya, Destry melanjutkan, setiap anggota dewan gubernur The Fed bebas menyampaikan pendapatnya ke publik terhadap perekonomian AS sehingga memengaruhi cepatnya perubahan sentimen pelaku pasar keuangan.

Ia mencontohkan, saat pertemuan dewan gubernur The Fed, yakni Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir pada September 2023 lalu, pelaku pasar telah menangkap pernyataan dari dewan gubernur The Fed bahwa suku bunga Fed Fund Rate hanya akan naik satu kali lagi pada November 2023, dan mulai berencana menerapkan pelonggaran kebijakan moneter atau lebih ke arah dovish.

Terutama karena inflasi sudah mulai bergerak turun meski masih di atas target kisaran 2% The Fed dan perekonomian AS juga mulai normalisasi. 

Oleh sebab itu, saat itu kata Destry pelaku pasar keuangan di dunia masih meyakini bahwa suku bunga The Fed hanya akan naik pada November 2023 tahun ini 25 basis points ke level 5,5-5,75%.

Namun, ia melanjutkan, sentimen itu seketika berubah ketika dua hari lalu ada pernyataan dari anggota dewan gubernur The Fed yang dilihat pelaku pasar keuangan bahwa inflasi di AS masih akan sangat tinggi karena indikator utama seperti penawaran gaji di negara itu masih tinggi.

"Nampaknya The Fed harus mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu lama. Tambah lagi November ada kenaikan Fed Fund Rate kalau naik lagi 25 bps Fed Fund Rate akan sama dengan BI Rate kita 5,75%. Gara-gara pernyataan itu semua heboh, panik," tuturnya.

"Akibatnya DXY naik 107 dan lebih parah lagi bond yield UST 10 tahun naik sampai 4,7% dan itu highest ever since 2007. Apa yang terjadi market kita ikut bergerak, bond yield mulai naik, rupiah kita mulai tertekan," tegas Destry.

Meski gejolak di pasar keuangan terjadi akibat pengaruh sentimen dari kondisi di Amerika Serikat, Destry memastikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia secara keseluruhan sebetulnya dalam kondisi yang baik-baik saja. 

Bercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih bisa tumbuh 5,17% pada kuartal II-2023 dan keseluruhan tahun ini di level 4,5-5,3%.

"Jadi nampaknya dekat-dekat 5% masih bisa tercapai keseluruhan tahun. Sementara negara lain berdasarkan proyeksi IMF, World Bank, ADB, semua melakukan koreksi ke bawah termasuk China kemudian beberapa negara tetangga kita, dan kita masih bersyukur tumbuh 5 p dan bahkan kredit tumbuh 9,06% Agustus 2023," tutur Destry.

Kuatnya perekonomian domestik ini menurut Destry menandakan bahwa potensi pertumbuhan masih akan sangat kencang ke depan. 

Untuk itu ia memastikan BI akan terus mendukung laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan bauran kebijakan atau policy mix, serta mengkombinasikan antara kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial hingga sistem pembayaran.

"Kami di bank sentral aware dengan pertumbuhan 5%. Kita enggak bisa terlena begitu saja, kita harus tetap aware bahwa gejolak pasti masih ada ketidakpastian ada, oleh karena itu dalam membuat suatu kebijakan enggak mudah kalau kita hanya gunakan satu tools saja seperti yang digunakan di negara-negara maju, moneter saja, suku bunga," ucap Destry

(***)