Lebih dari 50 Persen Masyarakat Indonesia Tahu Isu Dinasti Politik di Pilpres 2024

Rizka 22 Jan 2024, 13:25
Capres dan Cawapres Pemilu 2024
Capres dan Cawapres Pemilu 2024

RIAU24.COM Lembaga Survei Charta Politika merilis survei terbaru Pilpres 2024. Hasilnya, terkait dinasti politik, hampir 50% masyarakat atau responden cemas akan dinasti politik.

Dalam survei yang dilaksanakan pada 4-11 Januari 2024 ini, sebanyak 61,3 responden mengaku tahu soal isu dinasti politik. 

Survei ini digelar dengan metode multistage random sampling terhadap 1.220 responden di seluruh Indonesia. Margin of error dari survei ini di angka 2,82 persen. 

“Jadi kita menanyakan apakah masyarakat atau responden masih mengetahui atau tidak mengetahui isu dinasti politik pada pemilihan presiden dan wakil presidn tahun 2024 ini," kata Peneliti Utama Charta Politika, Nahrudin ketika memaparkan hasil survei dikutip dari kanal YouTube Charta Politika Indonesia, Senin (22/1).

"Sebanyak 61,3 persen menyatakan mengetahui," sambung dia.

Dari pertanyaan survei yang sama, sebanyak 28,7 persen responden menyatakan tidak mengetahui isu dinasti politik. Lalu, ada 10,0 persen menyatakan tidak tahu atau tidak jawab. 

Lebih lanjut, responden yang mengetahui soal isu ini juga ditanyakan terkait seberapa setuju mereka dengan politik dinasti yang ada di Indonesia. Hasilnya, mayoritas responden menyatakan tidak setuju.

"Sebetulnya masyarakat tidak setuju dengan dinasti politik di Indonesia. Ada 63,0 persen yang menyatakan tidak setuju terkait adanya dinasti politik di Indonesia," ujar dia. 

Sebanyak 20,2 persen menyatakan setuju dan ada 16,7 persen yang menjwb tidak tahu atau tidak jawab. Setelahnya, tim peneliti Charta Politika memberikan pertanyaan lebih jauh kepada responden yang tak setuju dengan isu politik dinasti.

Mereka ditanyakan "apakah saudara cemas atau tidak cemas keberadaan politik dinasti menghambat demokrasi di Indonesia?". 

Dari total 63,0 persen responden yang menyatakan tidak setuju politik dinasti, ternyata hanya 46,9 persen yang mengaku cemas itu akan menghambat demokrasi. 

“Kalau saya hipotesakan bahwa memang penolakan ini belum 100 persen itu implementasinya diketahui masyarakat apakah betul ketika politik dinasti dilakukan demorkasi itu akan terhambat, apakah proseduralnya tetap tiba-tiba tidak ada, apakah proses demokrasi pemilu itu ketika politik dinasti dijalankan apakah tidak ada," kata Nahrudin. 

“Jadi masih ada gap pengetahuan masyarakat terkait penghambatan demorkasi lewat politik dinasti," imbuh dia.