10 Tahun Menanti Buah Hati, Ibu di Gaza Kehilangan Anak Kembarnya usai Dibunuh Israel

Rizka 4 Mar 2024, 13:13
Bayi kembar
Bayi kembar

RIAU24.COM - Butuh waktu 10 tahun dan tiga kali fertilisasi in vitro agar Rania Abu Anza bisa hamil namun serangan pasukan Israel membuat dirinya kehilangan dua anak kembarnya yang berusia lima bulan.

Serangan Israel menghantam rumah keluarga besarnya di kota Rafah, Gaza selatan, Sabtu malam, menewaskan anak-anaknya, suaminya dan 11 kerabat lainnya.

Bercerita kepada APNews, Rania bangun sekitar jam 10 malam untuk menyusui Naeim, anak laki-lakinya, dan tidur sambil menggendong Wissam, putrinya. Suaminya tidur di samping mereka.

Ledakan terjadi satu setengah jam kemudian dan membuat rumah mereka runtuh.

"Saya berteriak memanggil anak-anak dan suami saya. Mereka semua tewas," katanya sambil terisak dan menggendong selimut bayi di dadanya.

Serangan udara Israel telah menghantam rumah-rumah keluarga yang ramai sejak dimulainya perang di Gaza, bahkan di Rafah, yang Israel nyatakan sebagai zona aman pada bulan Oktober namun kini menjadi target serangan darat berikutnya yang menghancurkan.

Rania dan suaminya, Wissam, keduanya berusia 29 tahun, menghabiskan satu dekade mencoba untuk hamil. Dua putaran IVF gagal, tetapi setelah putaran ketiga, dia mengetahui bahwa dia hamil awal tahun lalu. Si kembar lahir pada 13 Oktober.

Suaminya, seorang buruh harian, sangat bangga sehingga dia bersikeras menamai gadis itu dengan namanya sendiri.

"Aku tidak mendapatkan cukup banyak dari mereka. Aku bersumpah aku tidak mendapatkan cukup banyak dari mereka," ucapnya dengan pilu.

Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan bulan lalu bahwa lebih dari 12.300 anak-anak dan remaja Palestina tewas dalam perang tersebut, atau sekitar 43 persen dari total korban jiwa.

Perempuan dan anak-anak merupakan tiga perempat dari korban tewas.

Bagi anak-anak yang selamat, perang telah membuat hidup menjadi seperti neraka.

"Rasa tidak berdaya dan putus asa di antara orang tua dan dokter ketika menyadari bahwa bantuan yang menyelamatkan jiwa, yang hanya berjarak beberapa kilometer, berada di luar jangkauan, pastilah tidak tertahankan, namun yang lebih buruk lagi adalah tangisan kesedihan dari bayi-bayi yang perlahan-lahan binasa di bawah pengawasan dunia," kata direktur regional UNICEF Adele Khodr dalam sebuah pernyataan.