DKPP Ungkap Putusan Pelanggaran Etik Ketua KPU soal Pencalonan Prabowo-Gibran 

Zuratul 7 Apr 2024, 17:32
DKPP Ungkap Putusan Pelanggaran Etik Ketua KPU soal Pencalonan Prabowo-Gibran. (X/Foto)
DKPP Ungkap Putusan Pelanggaran Etik Ketua KPU soal Pencalonan Prabowo-Gibran. (X/Foto)

RIAU24.COM -Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024 pada Jumat (5/4/2024). 

DKPP menjadi Pemberi Keterangan Lain yang diperlukan Mahkamah untuk Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Ketua DKPP Heddy Lugito, Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, serta Anggota DKPP Muhammad Tio Aliansyah menghadiri langsung persidangan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. 

Dalam pemaparannya, Heddy mengatakan, DKPP memeriksa empat perkara dengan Teradu yaitu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) yang berkaitan dengan pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Dalam memeriksa perkara tersebut DKPP berpegang teguh pada pedoman beracara kode etik penyelenggara pemilu, semua tahapan sudah kita lalui,” ujar Heddy di hadapan delapan hakim konstitusi.

Dia menuturkan, empat perkara dimaksud diregistrasi dengan Perkara Nomor 135, 136, 137, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023. 

Kemudian, putusan atas perkara-perkara tersebut telah diucapkan pada 5 Februari 2024 secara terbuka dan bisa disaksikan melalui Youtube.

“Bersama ini sudah kami lampirkan putusan yang untuk perkara 135, 136, 137, dan 141 sudah kami serahkan kepada Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi, mohon untuk dipelajari,” kata Heddy.

DKPP kemudian mendapatkan pertanyaan dari hakim konstitusi mengenai putusan pemberian sanksi peringatan keras lebih dari sekali kepada satu orang yang sama tetapi tidak berujung pada pemberhentian. 

Heddy mengatakan, DKPP memeriksa dan memberikan sanksi berdasarkan besaran derajat pelanggaran etik yang diadukan dan bukti-bukti yang disampaikan di persidangan.

Dalam satu tahun, beberapa anggota penyelenggara pemilu diadukan ke DKPP bisa lebih dari satu kali, bahkan 10 sampai 15 kali. 

Namun, tidak semua aduan terbukti sehingga DKPP melakukan rehabilitasi terhadap anggota penyelenggara pemilu yang diadukan. 

Di sisi lain, DKPP memberikan sanksi peringatan keras hingga pemberhentian dari jabatan dan pemberhentian dari keanggotaan.

“Bahkan ada putusan DKPP itu yang sangat keras, yang bersangkutan tidak layak menjadi penyelenggara pemilu untuk saat ini dan selamanya kalau pelanggarannya sangat berat,” tutur Heddy.

Sementara terkait independensi penyelenggara pemilu, menurut Heddy, terdapat aduan mengenai keberpihakan penyelenggara pemilu kepada peserta pemilu tertentu. 

Ada pula kasus penyelenggara pemilu yang terindikasi dengan kepengurusan partai politik.

Sebelum menutup persidangan, Mahkamah mengesahkan bukti-bukti tambahan dari Pemohon Perkara Nomor 1, Pemohon Perkara Nomor 2, Pihak Termohon, Pihak Terkait, serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). 

Selain itu, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, para pihak dapat menyampaikan keterangan-keterangan yang belum disampaikan dalam persidangan termasuk para pihak dapat merespons keterangan empat menteri dan DKPP melalui kesimpulan. 

Kesimpulan tersebut diserahkan paling lambat kepada Mahkamah pada 16 April 2024 pukul 16.00 WIB.

“Para hakim menyepakati kita buka saja ruang untuk penyampaian semacam kesimpulan termasuk nanti merespons, jadi para pihak juga boleh merespons apa yang disampaikan empat kementerian tadi termasuk DKPP dalam kesimpulan itu,” tutur Suhartoyo.

Suhartoyo juga menegaskan, meskipun penyampaian kesimpulan belum pernah dilakukan pada sidang PHPU sebelumnya .

Hal tersebut bukan bentuk MK tidak konsisten melaksanakan Peraturan MK (PMK).

Sebab, kata Suhartoyo, dinamika penanganan PHPU Presiden Tahun 2024 berbeda dengan PHPU Presiden sebelumnya.

“Mohon ini dipahami bukan merupakan semacam ketidakkonsistenan di PMK maupun apa yang sudah dijadikan pendirian Mahkamah pada penanganan-penanganan pilpres sebelumnya, karena memang dinamikanya berbeda juga untuk persidangan pilpres hari ini,” kata Suhartoyo.

(***)