Dokter AS Ungkap Kondisi Ngeri di Gaza, Pasien di RS Terlantar-Banyak yang Kelaparan
RIAU24.COM - Bagi dr Sam Attar, Gaza meninggalkan memori yang tak terlupakan. Bahkan, wajah para korban yang dia temui di Gaza hingga saat ini masih terngiang di kepalanya.
Dokter asal Amerika Serikat itu menuturkan ada banyak hal yang membuatnya menelan ludah. Salah satunya ketika dia bertemu seorang ibu yang memeluk tubuh anak laki-lakinya yang baru saja meninggal.
"Dengan ekspresi yang kosong, ibu itu bercerita bahwa putranya baru saja meninggal lima menit yang lalu. Pegawai rumah sakit mencoba untuk menutupi tubuh anaknya dengan selimut, tapi ibu itu menolaknya. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Dia sedih, menangis, dan terus seperti itu sekitar 20 menit, dia tidak ingin beranjak dari sisi anaknya," ucap Attar, dikutip dari BBC.
Attar pun tidak lupa dengan seorang pria tua yang kehilangan kedua kakinya dan digerogoti oleh belatung.
"Dia kehilangan anak, cucu, dan rumahnya. Dia sendirian di sudut kamar rumah sakit yang gelap, belatung menggerogoti lukanya dan dia berteriak 'Cacing-cacing ini memakan saya hidup-hidup, tolong selamatkan saya'," tuturnya.
Attar menghabiskan lebih kurang satu bulan di Ghaza sebagai perwakilan dari grup relawan Palestinian American Bridge. Dia menceritakan saat pertama kali sampai di sana, mobil yang ditumpanginya langsung dikerumuni para korban yang kelaparan.
"Kami dikerumuni oleh orang-orang yang menggedor-gedor mobil, beberapa bahkan mencoba melompat ke atas. Si supir pun memaklumi. Mereka tidak berhenti, karena jika mereka berhenti orang-orang itu akan melompat ke atas mobil. Orang-orang itu tidak mencoba menyakiti kami, mereka hanya memohon makanan, mereka kelaparan," ucapnya.
Hari-hari Attar pun dipenuhi berbagai pemandangan yang menyayat hati. Setiap hari, Attar harus memutuskan siapa yang harus diselamatkan, siapa yang sudah tidak memiliki harapan. Para pasien tergeletak di lantai rumah sakit dengan bersimbahan darah dan perban bekas, dan seisi ruangan dipenuhi isak tangis akibat kesakitan dan kehilangan keluarga tercinta.
Bahkan bagi dokter perang seperti Attar yang sudah berpengalaman di Ukraina, Siria, dan Irak, apa yang dia saksikan di Gaza adalah 'kengerian' yang tidak pernah bisa dilupakan.
"Saya masih memikirkan semua pasien yang saya rawat, semua dokter yang masih ada di sana. Ada sedikit rasa bersalah dan malu karena saya harus pergi padahal masih banyak hal yang perlu dilakukan. Masih banyak yang mereka butuhkan, dan saya meninggalkan mereka yang masih di sana dan menderita," pungkasnya. ***