Kisah Inspiratif Siska Retno Sari, Berdamai dengan Hemofilia Untuk Jalani Hidup dengan Normal

Devi 18 Apr 2025, 00:06
Siska Retno Sari, satu-satunya wanita pengidap hemofilia di Pekanbaru
Siska Retno Sari, satu-satunya wanita pengidap hemofilia di Pekanbaru

RIAU24.COM -  Bagi penderita hemofilia, luka sekecil apa pun dapat menimbulkan pendarahan tanpa henti. 

Pada Hari Hemofilia Sedunia (World Hemophilia Day) yang diperingati setiap tanggal 17 April, mengusung tema “Acces for all: Women and girls bleed too” atau “Akses untuk semua: Perempuan dan anak perempuan juga mengalami pendarahan”.

Tema ini menyoroti kenyataan bahwa perempuan dan anak perempuan dengan gangguan pendarahan masih banyak yang terabaikan dalam hal diagnosis dan perawatan, seperti halnya yang dirasakan Siska Retno Sari.

Siska divonis menderita hemofilia sejak tiga tahun lalu, saat usianya 34 tahun. 

Penyakit yang ditandai dengan sulitnya darah untuk membeku itu, membuat wanita berparas ayu ini membutuhkan pengobatan seumur hidup. 

Siska yang merupakan satu-satunya wanita pengidap hemofilia di Pekanbaru, menceritakan perjuangannya untuk hidup normal pada seminar Share Your Story yang ditaja oleh Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Kamis, 17 April 2025 di Re Caffe Pekanbaru.

Wanita berusia 37 tahun ini tak pernah menyangka jika ada sesuatu yang tak biasa dengan kondisi tubuhnya.

Kecurigaan tersebut dirasakannya saat ia selesai menjalani operasi batu ginjal pada tahun 2022 lalu.

"Saya mengidap hemofilia itu diketahui tahun 2022 pasca operasi batu ginjal. Memang sebelum operasi, APTT sudah memanjang. Saat itu dokter belum curiga walau setiap hendak dijadwalkan operasi, selalu gagal,” ujar wanita berhijab ini.

Sebagai informasi, APTT (activated partial thromboplastin time) adalah tes darah yang mengukur waktu pembekuan darah. Tes ini digunakan untuk menilai fungsi faktor pembekuan darah dan mendiagnosis kelainan pembekuan darah. 

Namun karena memiliki keinginan untuk sembuh, Siska memilih untuk segera dilakukan operasi, meski dengan catatan tidak boleh turun dari tempat tidur.

"Pasca operasi tangan saya membiru. Saya sampai memeriksakan diri ke dua dokter penyakit dalam, tapi penyebabnya tidak diketahui. Namun ketika saya dibawa ke dokter bedah, barulah dokter curiga dengan kondisi tubuh saya. Saya segera dirujuk dan barulah diketahui jika saya mengidap hemofilia A," jelas Siska.

Mengidap hemofilia A, sempat membuat wanita kelahiran 1988 itu syok.

Hemofilia membuatnya sangat riskan terhadap benturan karena jatuh dan luka yang bisa membuat darahnya keluar tanpa henti, lebam dan gusi berdarah.

"Hemofilia kan ciri khasnya mudah berdarah, mudah lebam. Kalau ada aktivitas fisik berat, jatuh agak, bengkak. Kalau menekan tangan ke meja terlalu lama juga sangat riskan," ujar Siska.

Siska menceritakan jika ada luka atau bengkak di persendian, ia harus disuntik agar tidak terjadi hal yang fatal.

Ia masih ingat ketika ia harus menggunakan jasa tenaga medis untuk menyuntikkan obat ke tubuhnya.

"Tidak banyak yang tahu waktu itu (cara menyuntik). Jadi saya sempat merasa ragu," kata Siska.

Sebagai informasi, hemofilia merupakan penyakit pendarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan atau herediter.

Pengobatan hemofilia bertujuan untuk menghentikan pendarahan dengan cara mengganti faktor pembekuan atau substitusi faktor pembekuan misal faktor pembekuan VIII untuk hemofilia A atau faktor pembekuan IX untuk hemofilia B. Obat yang diberikan pada pasien akan berupa konsentrat faktor pembekuan VIII atau faktor pembekuan IX.

Pemberian persetujuan perlu dilakukan terus-menerus, seumur hidup pasien. Biasanya pemberian konsentrat bisa dilakukan 2-3 kali seminggu.

Siska menjelaskan, luka kecil biasanya tidak terlalu menjadi masalah. Namun, jika terjadi kondisi yang parah pendarahan internal dapat merusak organ, jaringan, bahkan mengancam nyawa.

"Saya punya penyakit asma. Tapi saya tidak mau putus asa. Saya tetap berusaha dan berdoa, Insya Allah ada jalan," ujarnya dengan optimis. 

Siska menuturkan, lewat rutin kontrol dan terapi, pasien hemofilia bisa hidup selayaknya orang normal. 

"Saat saya rutin menjalani perawatan dengan baik, memiliki mindset yang positif, maka kualitas hidup juga ikut menjadi lebih baik," imbuh Siska.

Bahkan Siska mengaku, meski divonis mengidap hemofilia, tidak menyurutkan kegemarannya bertravelling.

"Saya tetap bisa jalan-jalan seperti biasa kok. Tapi dengan syarat harus mempersiapkan diri dengan baik. Jadi hemofilia ini tidak membuat saya berhenti menikmati hidup," pungkas Siska.

Diusianya yang sudah matang, Siska memilih untuk tetap optimis dalam menjalani hidupnya.

"Meski pengobatan hemofilia ini berlangsung seumur hidup, tapi seorang penderita hemofilia tetap dapat menjalani hidup aktif dan sehat dengan penanganan serta diagnosis yang tepat. Sekarang saya sudah belajar berdamai dengan keadaan," tutup Siska. ***