Jokowi Jadi Sasaran Kritik Rakyat Usai Lengser, Rocky Gerung: Sindiran Terbaca di Bak Truk hingga Mural Jalanan
RIAU24.COM -Setahun setelah Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan jabatannya sebagai Presiden RI, kritik terhadap dirinya justru semakin masif dan tak lagi terbendung.
Sorotan publik tidak hanya datang dari elite politik atau pengamat, tetapi juga dari masyarakat biasa yang menyuarakan kritik mereka melalui cara yang khas: mulai dari mural di dinding kota hingga pesan-pesan sindiran yang tertulis di bak truk. Kritik terhadap Jokowi seolah menjadi bentuk perlawanan rakyat terhadap warisan kekuasaan yang ditinggalkannya.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai fenomena ini sebagai konsekuensi dari kehampaan moral di akhir masa kekuasaan Jokowi. Menurutnya, apa yang dulu hanya menjadi prediksi kini terbukti: ketika tidak lagi menjabat, Jokowi menjadi sasaran kemarahan dan ejekan rakyatnya sendiri.
“Setelah tidak lagi punya kekuasaan, Jokowi menjadi objek olok-olok rakyatnya. Dulu dikagumi, sekarang disindir di jalanan,” ujar Rocky saat dihubungi CNN Indonesia, Jumat (18/7).
Salah satu bentuk sindiran yang mencolok adalah tulisan pada bak truk yang berbunyi, “Dari Solo ke Pramuka, plonga-plongo dan suka berdusta.” Bagi Rocky, ini bukan sekadar candaan kasar, melainkan bentuk ekspresi politik yang lahir dari lapisan masyarakat bawah.
“Ini bukan main-main. Ini ekspresi politik kelas bawah, karena saluran demokrasi formal tak memberi ruang. Ketika parlemen tidak menggugat, rakyat menggambar,” kata Rocky.
Ia menilai bahwa rakyat telah menemukan bahasa perlawanan sendiri, menggunakan humor dan satire sebagai alat untuk mengkritik kekuasaan yang dianggap mengecewakan.
Kritik terhadap Jokowi juga mulai meluas ke lingkaran keluarganya. Putranya, Gibran Rakabuming Raka, terus menjadi sasaran polemik setelah terpilih sebagai wakil presiden, terutama terkait legitimasi proses pencalonannya yang dituding sarat rekayasa hukum.
Sementara itu, menantu Jokowi, Bobby Nasution, baru-baru ini dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan korupsi di daerah. Rocky menilai situasi ini bukan sekadar tekanan terhadap individu, tetapi pukulan terhadap gagasan dinasti politik yang dibangun Jokowi selama satu dekade.
Isu kesehatan Jokowi juga ikut mengemuka. Beberapa laporan menyebutkan bahwa mantan presiden mengalami gangguan kulit yang diduga dipicu oleh stres. Rocky menanggapi hal ini sebagai manifestasi tekanan psikologis yang kini dialami Jokowi akibat sorotan dan tuntutan publik.
“Kalau benar itu gangguan psikosomatis, artinya tubuh menolak realitas yang dihindari oleh pikiran. Ini bukan hanya soal sakit, tapi gejala dari tekanan yang tak tertahankan,” ujarnya.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi sempat menyampaikan bahwa tudingan terhadap dirinya, termasuk soal ijazah palsu, adalah bagian dari “konspirasi besar” yang sengaja digerakkan untuk menjatuhkan reputasinya. Namun bagi Rocky, pernyataan tersebut justru mengalihkan perhatian dari esensi masalah.
“Kalau ada konspirasi, siapa aktornya? Apa buktinya? Jangan sampai itu hanya narasi pengalihan. Publik sekarang sudah terlalu cerdas untuk ditakuti oleh kata-kata kosong,” tegas Rocky.
Rocky menilai, saat ini bukan lagi soal jatuhnya Jokowi secara politik—karena ia memang sudah tidak berkuasa—tetapi gugatan moral yang muncul dari rakyat. Ia menyebut bahwa yang sedang terjadi adalah transformasi kritik menjadi gerakan sipil.
“Ini bukan soal elite. Ini soal rakyat yang merasa dibohongi. Mereka membalas bukan dengan kudeta, tapi dengan sindiran di jalanan, dan itu lebih keras dari peluru,” katanya.
Menurut Rocky, kasus ijazah hanyalah permukaan dari krisis kepercayaan yang lebih dalam. Yang digugat publik adalah narasi besar yang selama ini dibangun lewat buzzer, lembaga survei, dan pencitraan media. Kini, ketika semua itu tak lagi berdampak, rakyat menuntut kejujuran dan pertanggungjawaban.
“Demokrasi itu bukan sekadar proses pemilu. Demokrasi adalah soal kepercayaan. Dan kepercayaan itu kini hilang,” kata Rocky.
Rocky menekankan bahwa saat seseorang telah meninggalkan jabatannya, justru di situlah ujian moral sesungguhnya dimulai. Ia menyerukan agar Jokowi menunjukkan sikap kenegarawanan yang sejati dengan terbuka terhadap kritik dan tidak terus-menerus membela diri.
“Justru ketika tak lagi menjabat, keagungan seseorang diuji. Itulah noblesse oblige—jabatan tinggi menuntut tanggung jawab moral yang lebih besar,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa masa transisi menuju pemerintahan baru seharusnya menjadi momentum refleksi nasional, bukan ajang membela masa lalu yang penuh kontroversi. Jika tidak ada kejujuran dan pertanggungjawaban, maka luka politik masa lalu hanya akan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
(***)