Ketika PTUN Jadi Alat Kekuasaan: Etika UI Dihancurkan Demi Bahlil?

Zuratul 6 Oct 2025, 16:19
Ketika PTUN Jadi Alat Kekuasaan: Etika UI Dihancurkan Demi Bahlil?
Ketika PTUN Jadi Alat Kekuasaan: Etika UI Dihancurkan Demi Bahlil?

RIAU24.COM - Rocky Gerung menyebut putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan gugatan promotor dan ko-promotor disertasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yakni Chandra Wijaya dan Athor Subroto adalah putusan ajaib.

Diketahui sebelumnya, Rektor Universitas Indonesia memberikan sanksi administratif terhadap Chandra Wijaya dan Athor Subroto yang tertuang dalam Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 473/SK/R/UI/2025, tanggal 7 Maret 2025.

Dalam putusan yang dibacakan belum lama ini, PTUN menyatakan bahwa sanksi yang diberikan Universitas Indonesia (UI) kepada Athor Subroto (ko-promotor) harus dicabut sepenuhnya. Sementara untuk Chandra Wijaya (promotor), putusan hanya membatalkan sebagian dari sanksi yang dijatuhkan rektor UI, tanpa memulihkan kembali status akademiknya secara penuh. Putusan ini muncul setelah keduanya menggugat keputusan rektor UI yang menjatuhkan sanksi terkait dugaan pelanggaran etik dalam proses bimbingan disertasi Bahlil. Dengan ini PTUN telah membatalkan keputusan rektor terhadap kedua orang tersebut.

Keputusan PTUN ini dianggap sebagai keputusan yang konyol karena tesis Bahlil sudah dinilai bermasalah sejak awal.

"PTUN membatalkan ini ajaib ini. Kita tahu bahwa Bahlil itu dibatalkan dan tesisnya itu dianggap sebagai bermasalah secara akademis, bermasalah secara etis. Karena itu dua orang tadi yang pembimbing atau penguji Pak Bahlil itu diberi sanksi oleh universitas. Tapi sanksinya itu kemudian dibatalkan, artinya tidak ada pelenggaran etis dong, kan itu konyolnya, " jelasnya dikutip kanal YouTubenya Senin (6/10/2025).

Rocky menyebut tentunya keputusan tersebut tidak serta merta langsung ada dan dikeluarkan oleh rektor jika tak diuji sebelumnya. Apalagi, keputusna ini tentunya melibatkan guru besar dan jajarannya.

"Bagaimana mungkin keputusan guru besar, keputusan komunitas akademis yang menganggap bahwa status Bahlil itu tidak layak dilanjutkan karena pelenggaran etis. Ini pelenggaran etis akademis loh. Artinya atau plagiasi, atau berbohong, atau menyogok, itu urusan isu realnya," sambungnya.

Rocky kemudian menyebut keputusna dari universtias ini seharunya hanya menyangkut lingkungan akademik dan universitas bersangkutan tidak perlu dobawa-bawa sampai ke pengadilan.

Menurutnya, keputusan akademik dari universitas harus dihormati tanpa perlu PTUN yang dinilainya hanya menguji secara administratif keputusan rektor sebelum akhirnya dibatalkan.

"Tetapi ketika satu universitas menyatakan itu pelenggaran etis, maka harusnya tidak perlu lagi itu dibawa ke meja pengadilan atau PTUN yang hanya menguji administrasi keputusan dari rektor. Kan tetap kita mau lihat menghormati keunggulan etis universitas, itu yang harus kita hormati," imbuhnya.

Dengan lantang Rocky menyebut pengadilan tak bisa ikut campur dalam keputusan universitas yang bersifat etis lantaran sudah diatur dalam paguyuban atau komunitasnya sendiri.

"Itu tidak bisa dibatalkan oleh pengadilan sifat etis dari universitas itu ditentukan oleh komunitasnya sendiri. Karena ini satu pangguyuban yang mengolah dan merawat sifat etis. Dari penelitian, disertasi, pengajaran, apapun itu di universitas," ujarnya.

Rocky semakin tergelitik saat dokumen-dokumen yang memuat soal pelanggaran etis tersebut harus dibawa sampai ke meja hijau. Padahal hal itu tak perlu dilakukan karena mutlak sebagai keputusan dari universiatas.

"Universitas yang mengerti apa itu pengalaman moral akademis, bukan pengadilan yang mengerti pengalaman moral akademis," pungkasnya. 

Kasus ini menjadi ujian serius bagi prinsip otonomi kampus yang selama ini dijunjung tinggi dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Otonomi itu tak hanya menyangkut kurikulum atau tata kelola, tetapi juga menyangkut kewenangan untuk menilai dan menegakkan standar etika akademik.

Universitas Indonesia, melalui Dewan Guru Besar dan Komite Etik, telah menyatakan bahwa disertasi Bahlil mengandung sejumlah pelanggaran etik. Dalam laporan internal yang beredar, disebutkan bahwa data disertasi diperoleh tanpa izin tertulis dari narasumber, ada ketidaktransparanan dalam metode pengumpulan data, serta ketidakwajaran dalam percepatan studi yang disebut-sebut dipengaruhi jabatan publik sang mahasiswa.

Namun kini, sanksi terhadap pembimbing yang terlibat dalam proses itu justru dibatalkan oleh lembaga hukum negara.

"Jika setiap keputusan etis kampus bisa dibatalkan PTUN, maka untuk apa komunitas ilmiah mempertahankan integritasnya?" tanya seorang dosen senior UI yang enggan disebut namanya. Ia menyebut ini sebagai "precedent berbahaya" yang bisa digunakan pihak-pihak dengan kuasa politik untuk menekan independensi kampus di masa depan.

Bahlil: Gelar Sah, Legitimasi Etis Dipertanyakan

Lalu bagaimana nasib disertasi Bahlil sendiri?

Secara formal, disertasinya memang sempat dibatalkan. Namun, setelah promotor dan kopromotor memenangkan gugatan di PTUN, muncul pertanyaan: apakah status Bahlil sebagai doktor kini bisa dianggap sah kembali?

"Secara etik, status itu sudah cacat. Bahkan jika secara hukum administratif tidak terbukti salah, pelanggaran moral dan akademik tetap meninggalkan stigma yang dalam," ujar Rocky. Ia menegaskan bahwa universitas memiliki hak penuh untuk menyatakan seseorang tak layak menyandang gelar akademik jika integritas ilmiahnya diragukan.

Menurutnya, seorang doktor harus mampu membuktikan novelty (kebaruan), kekuatan metodologi, dan orisinalitas pemikiran. Jika semua itu diragukan, maka ijazah hanya menjadi simbol formal tanpa makna keilmuan.

Publik pun seolah telah menjatuhkan "vonis sosial" terhadap Bahlil. Di media sosial, banyak pihak mengkritik keabsahan proses akademik yang dijalaninya. Tak sedikit yang menganggap gelar itu hanya upaya “menempelkan prestise” dari universitas, tanpa pencapaian intelektual yang nyata.

Politik dan Akademia: Garis Tipis yang Berbahaya

Kasus ini juga membuka bab baru dalam perdebatan klasik tentang hubungan antara kekuasaan politik dan dunia akademis. Ketika pejabat publik masuk ke ruang akademik dengan segala atribusi kekuasaannya, selalu ada kekhawatiran akan terjadinya “privilege akademik”.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini bukan hal baru. Banyak pejabat—dari menteri, kepala daerah, hingga anggota DPR—yang mengejar gelar akademik dari kampus-kampus ternama, namun publik meragukan proses ilmiahnya. Ketika waktu studi dipersingkat, disertasi tidak pernah dipresentasikan terbuka, atau bahkan data tidak dapat diverifikasi, maka kredibilitas kampus ikut dipertaruhkan.

"Tradisi akademik kita sedang diuji," ujar seorang anggota Dewan Guru Besar UI. "Kita harus kembali menegaskan bahwa integritas akademik tidak bisa ditawar dengan status atau jabatan."

Keputusan PTUN dalam kasus promotor dan ko-promotor Bahlil Lahadalia bukan hanya soal menang atau kalah di pengadilan. Ini soal benturan nilai antara prosedur administratif dan substansi etika. Lebih jauh lagi, ini adalah pengingat bahwa universitas tidak boleh menjadi ruang tunduk di hadapan kekuasaan.

Sekalipun surat sanksi bisa dibatalkan, nilai moral dan otonomi etik kampus tidak bisa digugat. Ketika akademisi dan institusi pendidikan menyerah pada tekanan formal, maka hilanglah ruh utama dari pendidikan tinggi: integritas, kejujuran, dan pencarian kebenaran.

Bagi Bahlil, mungkin gelar "doktor" bisa tetap tersemat. Tapi seperti yang dikatakan Rocky Gerung, “gelar bukan bukti kehadiran pikiran.” Ia hanya simbol. Dan simbol, jika kosong, hanya menjadi hiasan di balik kebanggaan semu.

(***)