Perdana Menteri Baru Prancis, Sebastian Lecornu Mengundurkan Diri di Tengah Kekacauan Politik
RIAU24.COM - Prancis dilanda krisis politik baru setelah Perdana Menteri Sebastien Lecornu yang baru diangkat mengundurkan diri hanya beberapa minggu setelah menjabat.
Lecornu, orang kelima yang menjabat dalam waktu kurang dari dua tahun, menghadapi tugas berat untuk memenangkan parlemen yang terpecah belah dan meyakinkan investor bahwa ia mampu meloloskan anggaran penting tahun 2026.
Dilantik pada awal September di tengah meningkatnya ketidakpuasan publik dan gejolak politik, masa jabatannya yang singkat menyusul serangkaian pemerintahan yang kesulitan meloloskan anggaran yang melibatkan pemotongan anggaran dan kenaikan pajak, yang membuat keuangan dan kepemimpinan negara berada dalam kondisi yang tidak menentu.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menerima pengunduran diri Perdana Menteri Sebastien Lecornu pada hari Senin (6 Oktober), hanya beberapa jam setelah pemimpin yang baru dilantik tersebut mengumumkan susunan kabinetnya, Istana Elysee mengumumkan.
Perkembangan mendadak ini telah mendorong Prancis semakin terpuruk dalam kebuntuan politik.
Lecornu, yang sebelumnya menjabat sebagai menteri pertahanan, baru diangkat menjadi perdana menteri bulan lalu.
Namun, kabinet yang ia presentasikan pada Minggu malam—yang sebagian besar tidak berubah dari pemerintahan sebelumnya—menuai kritik tajam dari berbagai partai politik.
Ia menghadapi tantangan berat untuk mengarahkan parlemen yang terpecah belah menuju pengesahan anggaran penghematan yang ketat untuk tahun mendatang.
Dua pendahulunya, Francois Bayrou dan Michel Barnier, dipaksa mundur setelah berselisih dengan anggota parlemen mengenai rencana pengeluaran yang sama.
Gejolak politik ini terjadi di tengah Prancis yang bergulat dengan utang yang terus meningkat.
Data resmi yang dirilis pekan lalu menunjukkan bahwa rasio utang terhadap PDB negara tersebut telah naik ke posisi ketiga tertinggi di Uni Eropa, hanya di belakang Yunani dan Italia — dan hampir dua kali lipat dari batas 60 persen yang ditetapkan oleh aturan Uni Eropa.
Selama tiga tahun terakhir, pemerintahan-pemerintahan berturut-turut telah melewati parlemen dengan mendorong anggaran melalui mekanisme konstitusional yang tidak memerlukan pemungutan suara, sebuah langkah yang dikritik keras oleh oposisi.
Lecornu baru-baru ini berjanji untuk memulihkan debat parlemen dengan mengizinkan anggota parlemen untuk memberikan suara pada anggaran baru.
Kebuntuan legislatif Prancis bermula dari keputusan Macron untuk mengadakan pemilihan parlemen dadakan tahun lalu, yang bertujuan untuk memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan.
Namun, pertaruhan tersebut justru melemahkan mayoritasnya di Majelis Nasional, membuat aliansi sentrisnya menjadi minoritas dan mempersulit pemerintahan sejak saat itu.
(***)