RIAU24.COM - Jefferies, sebuah perusahaan investasi yang berbasis di AS, menyatakan dalam laporan terbarunya bahwa mereka lebih menyukai pendekatan Tiongkok terhadap kecerdasan buatan daripada pendekatan AS.

Mereka mencatat bahwa Tiongkok memiliki keunggulan struktural dalam kapasitas energi, dan model sumber terbukanya mendorong inovasi.

Pengusaha akan mengembangkan kasus penggunaan AI yang tepat sasaran dan hemat biaya dengan menggunakan pendekatan sumber terbuka China terhadap teknologi baru, tambah laporan itu.

"Model sumber terbuka akan mendorong peningkatan inferensi seiring munculnya kasus-kasus penggunaan AI yang tepat sasaran dan hemat biaya," ungkapnya.

Apakah China diuntungkan terhadap AS?

Tiongkok memiliki keunggulan besar dibandingkan Amerika Serikat dalam hal energi murah.

Pusat data AI dan infrastruktur komputasi lainnya memiliki kebutuhan energi yang sangat besar, dan para pelopor AI telah mendorong pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Kapasitas pembangkit listrik Tiongkok meningkat sebesar 426 GW pada tahun 2024.

Di sisi lain, penambahan bersih kapasitas pembangkit listrik AS, dengan memperhitungkan instalasi baru dikurangi yang pensiun, hanya sebesar 30 GW.

"China memiliki keuntungan besar dalam hal aksesnya ke energi murah yang hampir tak terbatas," katanya.

Laporan itu juga meramalkan bahwa lonjakan belanja modal (capex) AI kemungkinan akan mengarah pada fase investasi berlebih secara besar-besaran pada pusat data dan infrastruktur terkait.

"Demam belanja modal AI akan berujung pada investasi besar-besaran yang berlebihan pada pusat data dan sejenisnya karena para pemain Big Tech merasa perlu berpartisipasi karena takut diganggu," demikian pernyataan laporan tersebut.

Laporan tersebut menyatakan bahwa belum jelas siapa yang akan muncul sebagai pemenang dalam persaingan AI.

Laporan tersebut juga mencatat bahwa belum ada aplikasi mematikan yang dikembangkan untuk masyarakat luas yang dapat mendefinisikan aplikasi praktis AI.

(***)