Sri Radjasa Sebut Riza Chalid Pernah Tunjukkan Daftar Anggota DPR Penerima Suap 

Zuratul 11 Nov 2025, 17:20
Sri Radjasa Sebut Riza Chalis Pernah Tunjukkan Daftar Anggota DPR Penerima Suap. (Tangkapan layar YouTube Channel Forum Keadilan TV)
Sri Radjasa Sebut Riza Chalis Pernah Tunjukkan Daftar Anggota DPR Penerima Suap. (Tangkapan layar YouTube Channel Forum Keadilan TV)

RIAU24.COM -Mantan perwira intelijen, Kolonel (Purn) Sri Radjasa, menyebut bahwa pengusaha migas Riza Chalid pernah “menunjukkan daftar nama-nama anggota DPR penerima suap”. 

Pernyataan itu disampaikan saat dirinya diundang ke podcast YouTube @ForumKeadilanTV, yang dirangkum oleh tim Riau24.   

Dalam rekaman berdurasi sekitar empat puluh menit tersebut, Sri Radjasa menyoroti fenomena “anomali harga” pada sektor minyak dan gas, di mana harga minyak dunia turun, namun harga bahan bakar dalam negeri justru naik. 

Ia mengaitkan kondisi itu dengan adanya kelompok kepentingan yang disebutnya “mengendalikan” alur kebijakan energi nasional melalui jaringan politik dan bisnis.

“Ada daftar nama anggota DPR yang menerima suap, dan Riza Chalid sendiri yang menunjukkan daftar itu,” ujar Sri Radjasa dalam video yang kini beredar luas.

Tekanan Politik dalam Keputusan Pertamina

Dalam penjelasannya, Sri Radjasa menyinggung nama mantan Direktur Utama Pertamina Persero, Karen Agustiawan, yang saat ini tengah menjalani proses hukum di Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Ia menyebut bahwa Karen sempat menghadapi tekanan dari dua pejabat tinggi negara saat itu — Purnomo Yusgiantoro (saat itu menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus penasihat Presiden bidang energi) dan Hatta Rajasa.

Menurut Sri Radjasa, tekanan itu berkaitan dengan kepentingan bisnis kilang minyak di Merak, Banten, yang disebut memiliki kaitan dengan Riza Chalid

“Permintaan itu disampaikan secara informal, dalam suasana pernikahan,” katanya.

Konteks pernyataan ini sejalan dengan keterangan sejumlah saksi yang telah diperiksa Kejagung dalam perkara dugaan korupsi tata niaga minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018–2023. 

Laporan penyidik menyebut potensi kerugian negara mencapai Rp285,7 triliun, menjadikannya salah satu skandal migas terbesar dalam sejarah korporasi BUMN Indonesia.

Riza Chalid dan Bayang-bayang “Mafia Migas”

Nama Riza Chalid bukan sosok baru di sektor energi. Ia dikenal sebagai pengusaha yang memiliki pengaruh besar di bisnis impor minyak mentah dan produk BBM sejak awal 2000-an. 

Media internasional dan sejumlah laporan investigatif menyebutnya sebagai figur sentral dalam jaringan yang kerap dijuluki mafia migas — istilah yang merujuk pada kelompok yang diduga memonopoli jalur distribusi dan kontrak pengadaan energi nasional.

Riza sempat menjadi sorotan publik dalam kasus “Papa Minta Saham” pada 2015, yang menyeret nama mantan Ketua DPR Setya Novanto. Ia kemudian meninggalkan Indonesia dan disebut berada di luar negeri hingga kini. 

Kejaksaan Agung kembali mengaitkan namanya dalam perkara baru terkait skema jual beli minyak mentah Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral) dan PT Pertamina (Persero).

Dari data Kejagung yang dipublikasikan Oktober lalu, sejumlah aset Riza Chalid telah disita, termasuk koleksi kendaraan mewah, properti, dan saham di beberapa perusahaan energi. 

Penyitaan ini menjadi bagian dari upaya penelusuran aliran dana hasil kejahatan yang diperkirakan melibatkan jaringan lintas negara.

Lingkaran Kekuasaan dan Legislasi

Pernyataan Sri Radjasa mengenai adanya “daftar nama anggota DPR penerima suap” membuka babak baru dalam diskursus publik soal hubungan antara bisnis migas dan politik di Indonesia. Jika benar, hal ini menunjukkan keterlibatan legislatif dalam proses penentuan kebijakan energi, terutama terkait kuota impor dan harga jual BBM.

Namun hingga kini, belum ada keterangan resmi dari Kejaksaan Agung yang membenarkan adanya daftar seperti dimaksud. Juru bicara Kejagung menyatakan, setiap informasi akan diverifikasi berdasarkan bukti hukum dan kesaksian saksi-saksi yang telah diperiksa.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksono, menilai bahwa pernyataan publik semacam itu perlu ditindaklanjuti secara hati-hati.

“Kalau memang ada daftar nama, sebaiknya diserahkan secara resmi kepada aparat penegak hukum. Publikasi tanpa bukti dapat memunculkan polemik baru dan berpotensi mengganggu proses hukum yang sedang berjalan,” ujarnya.

Potret Sistemik dan Akar Masalah

Kasus ini kembali menegaskan betapa kompleksnya persoalan tata kelola energi di Indonesia. Praktik rente, pengaturan tender, dan intervensi politik disebut menjadi hambatan utama dalam upaya mewujudkan kedaulatan energi nasional.

“Sejak masa Petral, pola yang sama terus berulang: minyak impor menjadi ladang rente bagi segelintir elite,” tulis analis energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kajiannya. “Akibatnya, harga BBM tidak mencerminkan realitas pasar, melainkan negosiasi politik di belakang layar.”

Dalam konteks itu, pernyataan Sri Radjasa dipandang sebagian kalangan sebagai bentuk keberanian untuk mengungkap apa yang selama ini menjadi rahasia umum: bahwa sektor energi Indonesia tidak hanya soal minyak dan kilang, tetapi juga tentang kekuasaan, uang, dan perlindungan politik.

Menanti Ketegasan Negara

Publik kini menanti bagaimana Kejaksaan Agung dan pemerintah akan menindaklanjuti berbagai tuduhan tersebut. Penegakan hukum yang tegas diharapkan tidak berhenti pada level korporasi, melainkan menembus struktur kekuasaan yang lebih tinggi bila bukti mendukung.

Sri Radjasa sendiri menutup pernyataannya dengan kalimat yang kini banyak dikutip warganet:

“Diam adalah keberpihakan.”

Kalimat itu, bagi sebagian orang, menjadi pengingat bahwa korupsi dalam sektor energi bukan sekadar penyimpangan ekonomi, melainkan ancaman terhadap kedaulatan bangsa.

(***)