Benarkah Tubuh Manusia Perlu Berhari-hari untuk Mencerna Mi Instan? Ini Fakta Sebenarnya

Devi 18 Dec 2025, 10:38
Benarkah Tubuh Manusia Perlu Berhari-hari untuk Mencerna Mi Instan? Ini Fakta Sebenarnya
Benarkah Tubuh Manusia Perlu Berhari-hari untuk Mencerna Mi Instan? Ini Fakta Sebenarnya

RIAU24.COM - Narasi bahwa mi instan susah dicerna di dalam tubuh viral di berbagai platform media sosial. Ada yang mengatakan butuh 1-2 hari hingga mi instan dapat dicerna dengan sempurna, bahkan ada yang mengatakan hingga 7 hari.
Klaim ini pun ramai diperbincangkan dan memicu kekhawatiran, terutama terkait dampaknya terhadap sistem pencernaan. Tapi ngomong-ngomong, dari mana sih asal mula muncul pernyataan tersebut?

Asal Mula Klaim Mi Instan Sulit Dicerna
Jadi gini. Klaim bahwa mi instan dicerna hingga tujuh hari kerap dikaitkan dengan sebuah eksperimen yang dilakukan Dr Braden Kuo, seorang ahli gastroenterologi di Massachusetts General Hospital, sekitar tahun 2011. Dalam eksperimen tersebut, Dr Kuo menggunakan teknologi kapsul endoskopi untuk mengamati proses pencernaan setelah konsumsi mi instan dan mi buatan tangan.

Dari pengamatan tersebut, kedua jenis mi pada dasarnya telah mengalami proses pencernaan dalam hitungan jam. Meski demikian, mi instan tampak lebih utuh dalam rekaman dibandingkan mi segar.

Temuan ini kemudian disalahartikan sebagai bukti bahwa mi instan tidak tercerna atau menetap lama di dalam tubuh. Padahal, perbedaan kondisi konsumsi serta keterbatasan teknologi kapsul endoskopi yang tidak merekam proses pencernaan secara terus-menerus dalam waktu yang sangat panjang-membuat klaim mi instan dicerna hingga berhari-hari dinilai sebagai interpretasi yang keliru.

Lantas, sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuh untuk mencerna mi instan? Untuk menjawabnya, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana sistem pencernaan manusia bekerja

Sistem pencernaan manusia bekerja secara bertahap, dan proses ini juga berlaku saat mengonsumsi mi instan. Pencernaan sebenarnya sudah dimulai sejak mi instan masuk ke mulut, yakni ketika mi dikunyah hingga menjadi lebih halus dan bercampur dengan air liur yang mengandung enzim amilase (ptialin). Enzim ini mulai memecah karbohidrat kompleks dalam mi menjadi bentuk yang lebih sederhana. Pada tahap ini, mi instan berubah dari bentuk padat atau semipadat menjadi bubur lembut (bolus) yang kemudian ditelan menuju lambung.

Di lambung, bolus makanan bercampur dengan cairan lambung yang mengandung asam klorida (HCl) dan enzim pepsin sehingga proses ini membuat makanan menjadi cairan kental yang disebut kimus.

Kimus selanjutnya berpindah ke usus halus, tempat sebagian besar proses pencernaan kimia dan penyerapan nutrisi terjadi. Enzim dari pankreas seperti amilase, lipase, dan protease, serta cairan empedu dari hati, bekerja memecah karbohidrat, lemak, dan protein agar dapat diserap oleh tubuh. Proses pencernaan dan penyerapan nutrisi ini umumnya berlangsung dalam hitungan jam.

Sisa makanan yang tidak tercerna kemudian masuk ke usus besar. Di bagian ini, air diserap kembali dan sisa makanan dipadatkan dengan bantuan aktivitas bakteri usus sebelum akhirnya dikeluarkan sebagai feses. Proses di usus besar inilah yang berkaitan dengan waktu transit makanan, yang dapat berlangsung belasan hingga puluhan jam dan kerap disalahartikan sebagai lamanya waktu pencernaan.

Secara keseluruhan, waktu transit makanan sejak ditelan hingga sisa pencernaan dikeluarkan dari tubuh berkisar 10-73 jam, atau sekitar 1-3 hari, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah publikasi di Journal of Neurogastroenterology tentang riset waktu transit makanan di saluran pencernaan.

Durasi ini bisa berbeda-beda tergantung jenis makanan, kandungan serat, asupan cairan, aktivitas fisik, serta kondisi kesehatan pencernaan masing-masing individu.

Secara ilmiah, komposisi makanan dan pola makan secara keseluruhan sangat memengaruhi waktu pencernaan. Makanan yang kaya serat seperti sayur, buah, dan biji-bijian cenderung mempercepat transit usus dan memperlancar buang air besar karena serat meningkatkan volume tinja dan mempercepat pergerakan melalui saluran cerna, terutama pada individu dengan waktu transit yang lebih lambat sebelumnya. Sebaliknya, makanan tinggi lemak dan rendah serat dapat memperlambat pengosongan lambung dan seluruh proses pencernaan.

Baca juga:
Apa Itu Ultra Processed Food? Jadi Polemik karena Muncul di Menu MBG

Mi Instan sebagai Produk Ultra Processed Food (UPF)
Dalam klasifikasi NOVA, mi instan termasuk ultra-processed food (UPF), yakni makanan yang diproduksi melalui berbagai tahapan pengolahan dan mengandung beragam bahan tambahan, seperti perisa buatan, penguat rasa, pengawet, dan pewarna. Jenis makanan ini dirancang agar praktis, tahan lama, dan memiliki cita rasa kuat, namun cenderung rendah serat serta mikronutrien alami yang dibutuhkan tubuh.

Karena karakteristik tersebut, mi instan kerap diasosiasikan dengan pencernaan yang terasa lebih lambat. Meski demikian, secara medis mi instan tetap dapat dicerna tubuh dalam hitungan jam. Sensasi begah atau perut terasa penuh setelah mengonsumsinya lebih berkaitan dengan kandungan lemak yang dapat memperlambat pengosongan lambung, sehingga makanan bertahan lebih lama sebelum masuk ke usus halus.

Fenomena serupa juga kerap dialami setelah mengonsumsi makanan tinggi lemak lainnya, seperti gorengan, makanan bersantan kental, atau fast food. Pada jenis makanan tersebut, keluhan seperti cepat begah atau perut terasa penuh juga sering muncul, terutama jika dikonsumsi dalam porsi besar.

Dalam konteks mi instan, kandungan lemak tidak hanya berasal dari proses penggorengan mi saat produksi, tetapi juga dari minyak dalam bumbu instan. Meski demikian, jumlah lemak dalam satu porsi mi instan umumnya tidak jauh beda dengan porsi gorengan atau makanan cepat saji lainnya. Artinya, rasa begah yang muncul lebih dipengaruhi oleh kombinasi lemak, rendahnya serat, dan pola konsumsi, bukan karena mi instan tidak tercerna atau "menempel" dalam tubuh.


Jadi, Apakah Mi Instan Aman di Pencernaan?
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ultra-processed food (UPF) secara berlebihan berkaitan dengan meningkatnya risiko gangguan pencernaan, obesitas, diabetes tipe 2, hingga penyakit kardiovaskular. Risiko ini lebih dipengaruhi oleh pola dan frekuensi konsumsi jangka panjang, bukan dari konsumsi sesekali.

Karenanya, mi instan tetap aman dikonsumsi oleh individu sehat asal dengan lebih bijak. Menambahkan sayuran dan sumber protein, mengurangi penggunaan bumbu instan, mencukupi asupan air putih, serta membatasi frekuensi konsumsi dapat membantu menekan dampaknya terhadap kesehatan pencernaan. ***