Menu

Mahfud MD Pernah Ungkap Data 92 Persen Cakada Dikuasai Cukong, Pengamat Sebut Sekarang Jadi Tanggung Jawabnya

Siswandi 14 Sep 2020, 11:55
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, pernah mengungkapkan data yang menyebutkan 92 persen calon kepala daerah (Cakada) diduga dibiayai oleh pemodal alias cukong. Dengan posisinya saat ini, Mahfud dinilai ikut bertanggung jawab membenahi kondisi itu. 

Penilaian itu dilontarkan Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul. Menurutnya, apa yang dilontarkan Mahfud tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pesta demokrasi di Indonesia. Ibarat “lagu lama kaset kusut”, cerita ini selalu berulang. 

Menurutnya, Mahfud MD hanya akan jadi bagian dari istilah “lagu lama kaset kusut” jika tidak bergerak atau mengambil langkah menghentikanya. 

“Jadi Pak Mahfud MD sudah berada di lingkaran kekuasaan dan hal ini juga menjadi ranah beliau. Kalau tidak bisa berbuat apa-apa dan berani mengungkap, saya pikir Pak Mahfud bagian dari 'lagu lama kaset kusut' juga,” lontarnya, dilansir rmol, Senin 14 September 2020. 

Ditambahkannya, dengan posisinya saat ini, hal itu juga menjadi tanggung jawab dan tugas berat yang harus dituntaskan Mahfud. Sehingga ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) harus bersih alias steril dari campur tangan pemodal. 

Sehingga dengan demikian, rakyat mendapat pemimpin yang betul-betul memikirkan kepentingan rakyat, bukan bela kepentingan pemodal. 

Tak hanya itu, Adib juga mengungkapkan saat ini oligarki politik sudah berkolaborasi dengan oligarki ekonomi. 

“Imbal baliknya ialah ketika kepala daerah didukung oleh oknum cukong ini pasti menimbulkan korupsi, tidak hanya uang melainkan juga kebijakan-kebijakanya yang pro kepada pemodal. Ini menurut saya yang bahaya,” tandasnya.

Diantisipasi Rizal Ramli 
Kondisi ini, sudah diantisipasi ekonom senior Rizal Ramli secara terukur. Yang terbaru, Rizal Ramli bersama Abdulrachim Kresno dan didampingi kuasa hukum mereka, pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT Pilpres) 20 persen yang ada dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. 

Presidential treshold atau ambang batas pendaftaran presiden sebesar 20 persen membuat ruang-ruang demokrasi dibatasi. Threshold hanya menjadi alat untuk memaksa sang calon untuk membayar upeti kepada partai politik. Mahar upeti itu bukan angka main-main, dan saat ini sudah bergeser kepada kriminal, yaitu pemerasan. 

Menurut Rizal Ramli, untuk calon bupati atau walikota harus mengeluarkan Rp10 miliar sampai Rp50 miliar, calon gubernur Rp50 miliar hingga Rp200 miliar, dan calon presiden Rp 1 triliun sampai Rp 1,5 triliun. 

Angka-angka yang sedemikian besar itu, hanya untuk membayar upeti kepada partai-partai. Belum lagi biaya lain. Lalu, bagaimana dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat? ***