Menu

Pak Presiden, UU Omnibus Law Ini Memang Harus Dicabut

Riki Ariyanto 11 Oct 2020, 19:47
Pak Presiden, UU Omnibus Law Ini Memang Harus Dicabut (foto/ist)
Pak Presiden, UU Omnibus Law Ini Memang Harus Dicabut (foto/ist)

RIAU24.COM -  “Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota, Besatu padu rebut demokrasi

Gegap gempita dalam satu suara, demi tugas suci yang mulia.
Hari hari esok adalah milik kita, terciptanya masyarakat sejahtera.
Terbentuknya tatanan masyarakat Indonesia baru tanpa Orba….”


Itulah potongan lagu yang belakangan ini memenuhi jalanan diseluruh penjuru negeri ini. massa aksi turun ke jalan ditengah pandemi yang mengancam setelah tanggal 5 Oktober 2020 DPR RI pada larut malam mengetuk palu pengesahan UU Cipta Kerja. UU ini mendapat responan yang luar biasa dari berbagai elemen masyarakat, baik pro maupun kontra.
Ditengah berkecamuknya permasalah yang dihadapi bangsa ini karena situasi pandemi covid 19.

Permasalahan yang bukan hanya di bidang kesehatan tetapi sektor lainya seperti ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Kita ambil contoh di bidang perekonomian, BPS merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi jauh 5,32% (YoY) yang menunjukkan bahwasanya ada permasalahan yang sangat serius dalam perekonomian. Contoh sederhananya adalah banyaknya UMKM yang gulung tikar diikuti PHK secara besar besaran yang tentu saja membawa multiplier effect terhadap keluarga mereka, masyarakat dan negara ini. Kita asumsikan saja, jika satu orang pekerja menanggung satu orang istri dan dua orang anaknya maka ketika 1 orang pekerja di PHK maka total akan ada 4 orang akan terlantar. Nah, jika PHK yang terjadi di penjuru negeri ini 1.000.000 orang pekerja saja maka akan mengakibatkan orang terdampak sebanyak 4.000.000. Asumsi ini tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka terjadi dilapangan.

Belum lagi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menggelontorkan dana besar dan signifakan dari APBN dengan angka 695,20 Triliun yang hingga hari ini belum menunjukkan perbaikan ekonomi yang signifikan. Permasalahan serius ini tentu sama terjadi pada sektor lainnya dan akan terlalu panjang untuk dibahas pada satu tulisan ini.


Dari permasalahan-permasalan tersebut, secara logis hal yang utama diselesaikan oleh pemerintah adalah covid 19 dengan segala permasalahannya. Akan tetapi yang terjadi malah berbeda, artinya pemerintah dan PDR RI sudah disorientasi dan salah fokus dalam menangani sesuatu dengan menimbulkan permasalahan baru dan bergejolak di masyatakat Hal ini juga merupakan pelanggaran constitutional ethics yang serius. Undang-Undang Ombibus law ini memiliki banyak poin yang membuat masyakarat menolak dan tergerak untuk turun ke jalan. Beberapa di antaranya sebagai berikut :


Pertama, secara proses pembentukan ini sangat memprihatinkan karena dilakukan dengan cenderung tertutup, tergesa-gesa, dan minim melibatkan partisipasi publik. Azas keterbukaan yang diamanatkan oleh UU nomor 12 tahun 2011 pada pasal 5 sama sekali tidak dipenuhi. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya publik bahkan bisa dikatakan tidak dapat mengaskses draft RUU hingga disahkan menjadi Undang-Undang. Hal ini selain melanggar ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan juga akan membuat hasil keputusan ini bias dan timbul pasal-pasal bermasalah karena tidak reprsentatif dari kebutuhan publik.

Kedua, yang sangat menjadi sorotan adalah berkaitan dengan salah satu landasan pembentukan Undang-undang yaitu landasan sosiologis yang menyatakan bahwa harus adanya pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk memenuhi kebutuhan masyarkat dalam berbagai aspek. Sejalan juga UUD 1945 dalam hal ini pasal 33 untuk mengedepankan kepentingan dan sekejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dengan adanya penolakan oleh masyarakat pada umumnya, tentu saja mengindikasikan Undang-undang ini tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, melainkan hanya untuk segelintir orang saja.

Ketiga, tujuan utama dari UU Omnibus law ini adalah untuk meningkatkan investasi asing di Indonesia melalui pemberian kemudahan prosedur dan syarat investasinya dengan mengesampingkan aspek manusia dan kemanusiaan dari tenaga kerja/buruh Indonesia. Menurut penulis hal ini tidak berbeda dengan “Politik Pintu terbuka (Opendeur politiek)” yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda pada masa penjajahan, hanya saja dibungkus dengan gaya baru. Politik liberlisasi ekonomi yang dimulai dengan revolusi Prancis (1789-1799) kemudian diikuti kebangkitan kaum kapitalis diseluruh Eropa termasuk belanda yang menjajah bangsa kita waktu itu. Setelah itu terjadi terjadi pergeseran cara menjajah ke arah yang lebih modern.

Sejak kemenangan wakil kaum kapitalis dibeberpa pasal pada persidangan Staten General (Parlemen belanda) maka tahun 1870 Opendeur Politiek diberlakukan di Indonesia. Politik pintu terbuka adalah kebijakan liberalisasi ekonomi untuk membuka pintu selebar lebarnya bagi modal asing. Diawali dengan keinginan meningkatkan kesejahteraan pada rakyat, Politik pintu terbuka ini hanya mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi pemilik modal asing dan sebaliknya kemerosotan yang sangat luar biasa bagi perekonomian rakyat.

Maka hal ini sama saja saja dengan gaya pemerintahan saat ini yang menciptakan negeri ini sebagai surga investasi. Penulis sedang tidak memandang buruk investasi, sebagai seorang yang menimba ilmu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis tentu penulis sangat sadar bahwa investasi itu penting dan merupakan salah satu modal pembangunan di luar APBN juga solusi menghindari utang terhadap luar negeri. Akan tetapi, jika caranya tidak mempertimbangkan aspek keberlangsungan lingkungan dan mengesampingkan aspek manusia dan kemanusian dengan “menyuruh” pemilik modal mengeksploitasi bangsa kita, itu sangat tidak tepat. Di tambah lagi mari kita refleksikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan investasi itu. Secara sederhana Investasi dapat didefinisikan sebagai proses penanaman modal dengan mengharapkan keuntungan di masa depan. Nah, salah satu kata kuncinya keuntungan, yang dimaksud dengan keuntungan disini adalah keuntungan investor.

Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi pembohongan publik jika dalih pemerintah ingin memajukan negara ini dengan menarik investor apalagi asing untuk berivestasi. Kita analogikan saja pada suatu entitas kecil, ketika seorang investor berinvesntasi pada suatu perusahaan itu diberikan setifkat saham atau bukti kepemilikan atas perusahaan tersebut. Karena penanaman modalnya yang sangat besar, maka ketika melaksanakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) maka investor ini lah yang memiliki suara untuk menentukan kemana arah perusahaan ke depannya. Sama halnya dengan negara, ketika sudah dikuasai oleh modal asing maka akan ditentukan pula lah arahnya oleh asing.

Kemudian jika ingin memajukan bangsa ini dengan mencontoh China atau pun Amerika dalam perekonomian maka sangatlah tidak bijak. Sebagaimana disampaikan oleh seorang jurnalis ulung republik ini dalam bukunya “Manusia Indonesia” ditulis tahun 1977 mengatakan bahwa definisi maju Indonesia tidak bisa di samakan dengan bangsa Amerika, karena Indonesia harus memperhatikan sisi kemanusiaan dan kebudayaannya. Pada saat itu beliau sudah melihat jauh kedepan akan adanya disterupsi, mekanisasi, dan pengekspoiltasikan manusia dengan memperlakukan manusai seperti robot pekerja. Ditambah lagi ketika kita hanya bertumpu pada pertumbuhan PDB semata, maka akan banyak hal yang akan terlewatkan dalam usaha pencapaian kesejahteraan. Karena PDB yang tinggi bukan bearti langsung bisa disimpulkan negara itu sejahtera.

Kemudian terakhir, setelah melihat perekembangan negara 5 hari pasca di sahkannya UU Cipta Kerja, terjadi penolakan demonstrasi dimana-mana, korban berjatuhan, kerusakan fasilitas dan lainya. Maka sangat lah bijak sekiranya sebagai seorang pemimpin dan didorong wakil rakyat untuk mengambil kebijakan yang tepat dan cepat yaitu mencabut UU Cipta Kerja dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). Penulis saat ini tidak sedang memimpikan adanya pemimpin seperti Umar bin Khattab yang sangat peka terhadap kondisi rakyatnya dan rela menahan lapar sebelum rakyatnya makan, bersumpah tidak makan roti, daging, dan mentega sebelum kondisi paceklik berakhir. Penulis kira terlalu naif dan kesalahan besar untuk mengharapkan itu saat ini. Akan tetapi, sebagai sesama putra bangsa penulis yakin dan percaya masih ada terbetik rasa cinta kepada negeri ini dalam hati pemerintah dan wakil rakyat.

Untuk itu besarkanlah sekarang satu titik kecil itu agar tidak ada lagi yang bertumpah darah, baik mahasiswa, buruh, polisi, dan elemen masyarakat lainnya. Ingatlah satu nyawa itu sangat beharga dan tak ternilai harganya dengan suatu benda apapun. Maka seka lagi, sangatlah bijak jika Presiden Republik Indonesia untuk mengeluarkan Perpu untuk mencabut UU Omnibus Law ini.

Karena seperti risalah sukarno dalam bukunya “mencapai Indonesia merdeka” (1933) yaitu hidupkanlah massa aksi untuk mencapai Indonesia-Merdeka. Aksi demonstrasi akan terus terjadi karena masyarakat sudah cerdas dan tidak akan berhenti sampai UU ini dicabut, dan penting untuk diketahui di negara demokrasi ini dan sesuai amanat UUD 1945 kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Maka rakyat akan mengawal ini sampai tuntas.

“Dan sejarah akan menulis: di sana di anatara benua Asia dan Australia, antara Lautan teduh dan lautan Indonesia adalah hidup satu bangsa yang mula-mula mencoba untuk kembali hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya kembari menjadi kuli di antara bangsa bangsa kembali menjadi : Een natie van kolie onder de naties. Maha besarlah Tuhan yang membuat kita sadar kembali sebelum kasip.” – Soekarno
Bersyukur dan ikhlas, Yakin Usaha Sampai.

Oleh: Armadani (Kabid KPP HMI Komisariat FEB UNRI, Ketua umum Komapas-Pekanbaru)