Menu

Banyak RS Rujukan yang Dikabarkan Tolak Warga Terjangkit Covid-19, Tanda-tanda Layanan Kesehatan Sudah Kolaps?

Siswandi 18 Jan 2021, 14:52
Ilustrasi rumah sakit rujukan yang menyediakan layanan penanganan Covid-19. Foto: int
Ilustrasi rumah sakit rujukan yang menyediakan layanan penanganan Covid-19. Foto: int

RIAU24.COM -  Kasus tentang warga terjangkit Covid-19 yang ditolak rumah sakit rujukan, diduga sudah kerap terjadi. Kasus yang dialami seorang warga Depok, Jawa Barat, pada awal Januari lalu dinilai hanya salah satu kasus saja. 

Kabar tersebut datang dari LaporCovid-19 dan Center for Indonesia's Strategi Development Initiatives (CISDI). Kedua organisasi itu mengaku sudah menerima 23 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit rujukan. Kondisi ini terjadi sejak akhir Desember 2020 hingga awal Januari 2021. 

Mirisnya, kondisi itu membuat warga yang terjangkit Covid-19 tersebut ada yang meninggal dalam perjalanan atau saat masih berada di rumah.

Dalam siaran persnya yang dilansir detik, Senin 18 Januari 2021, laporan tentang kejadian itu berasal dari sejumlah kawasan di Tanah Air. Di antaranya wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 

Menyikapi kondisi itu, relawan tim BantuWargaLaporCovid-19, dr Tri Maharani, mengatakan, kondisi itu sudah sebagai tanda-tanda robohnya layanan kesehatan.

"Tanda-tanda kolaps layanan kesehatan sebenarnya sudah terindikasi sejak bulan September 2020, yang kemudian mereda pada periode pemberlakuan PSBB di Jakarta. Menjelang pertengahan November 2020, saat pelaksanaan pilkada serentak dan libur Nataru, memperburuk ketidakmampuan RS menampung pasien," lontarnya. 

Tidak hanya itu, LaporCovid-19 dan CISDI juga mengaku menemukan fakta di lapangan, tentang sejumlah fasilitas kesehatan tidak berjalan baik. Misalnya, mengenai sistem informasi rumah sakit yang tidak diperbarui secara real-time, sehingga pasien tidak tahu harus bertindak seperti apa.

Menurutnya, komunikasi publik yang berbasis bukti, fokus dan tidak terdistorsi dengan narasi-narasi palsu harusnya sejak awal pandemi telah dilakukan. 

"Ketidakmampuan pembuat kebijakan dalam membangun strategi maupun melaksanakan praktik komunikasi yang transparan dan akuntabel menyebabkan gagalnya masyarakat sepenuhnya menyadari kegawatan situasi pandemi ini," ujarnya lagi. 

Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda menambahkan, kondisi ini menyebabkan upaya pemerintah menambah kapasitas tempat tidur dan tenaga kesehatan tidak akan pernah mencukupi kebutuhan layanan kesehatan di tingkat rujukan, untuk menampung jumlah pasien dalam kondisi sedang hingga berat dan kritis.

"Selain itu, perbaikan sistem informasi kesehatan sudah tidak mungkin ditunda lagi. Publik harus mendapatkan akses terhadap pendataan dan informasi dengan pembaruan real-time," imbuh Olivia lagi. ***