Menu

Kisah Soekarno yang Hidup Miskin Sejak Lahir, Tidak Punya Sepatu dan Tidak Bisa Membeli Pepaya

Devi 20 Jan 2021, 14:44
Foto : VOI
Foto : VOI

“Suatu hari di tanah Priangan, Bung Karno muda bertemu dengan seorang petani kecil bernama Marhaen. Perjumpaan ini kelak menjadi momentum penting dalam bentuk munculnya Marhaenisme.” Pemahaman membela nasib rakyat kecil, rakyat kecil tak bertanah petani atau petani kecil, buruh pabrik, dan siapapun yang tidak mempunyai sarana produksi, ”tulis dalam buku Prinsip Mengajar Marhaenisme Menurut Bung Karno (2001).

Penemuan ideologis adalah buah dari pengamatan di sekitarnya, termasuk masa kecilnya. Bung Karno meyakini bahwa sebagian besar penduduk Hindia adalah pekerja kecil. Kapitalisme, kata Bung Karno, adalah mulut kemiskinan dan kesengsaraan. Sistem kapitalis dapat mengeksploitasi orang lain. Namun konsep Marhaen Bung Karno terlihat berbeda dengan semangat sosialisme proletar yang digaungkan oleh pemikir sosialis, Karl Marx.

Di sini Bung Karno dipandang kritis terhadap dirinya sendiri, tidak sekadar mengambil konsep yang dikemukakan oleh para pemikir sosialis Barat. Dikutip Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014), konsep proletar hanya ada relevansinya di negara-negara industri Barat. Bagi masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat agraris hal tersebut tidak memungkinkan.

“Konsep Marhaen mewakili mayoritas anggota masyarakat yang sengsara dan tertindas, sedangkan proletariat hanya mencakup beberapa anggota masyarakat. Yang membedakan keduanya adalah bahwa keluarga Marhaen memiliki alat produksi, terapi kaum proletar tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual jasa. Melalui Marhaenisme sebagai teori perjuangan, Soekarno mengubur sistem kapitalisme dan imperialisme dari muka bumi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, tetapi rakyatnya miskin, ”tambah Peter Kasenda.

Pada akhirnya, pikiran itu menetap di kepala Kakak. Entah itu semasa sekolah, berjuang, diasingkan, hingga menjadi salah satu tokoh yang membawa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Putra pasangan Raden Sukemi Sastrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ini kemudian menjadikan bangsa Indonesia sejajar dan setara di dunia internasional. Bung Karno juga mempersatukan semua suku bangsa menjadi satu bangsa, yaitu: bangsa Indonesia.

Halaman: 23Lihat Semua