Menu

Masih Ada Menteri Jokowi yang Doyan Impor, Faisal Basri Sebut Sebaiknya Dicopot, Ini Sebabnya

Siswandi 15 Mar 2021, 14:15
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. Foto: int
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. Foto: int

RIAU24.COM -  Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menyentil sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Maju, yang masih suka mengeluarkan kebijakan impor. 

Karena itu, ia meminta Presiden Jokowi mencopot menteri yang masih memiliki pemikiran seperti itu. Pasalnya, para menteri yang doyan impor itu lebih mengedepankan keuntungan segelintir orang, dibanding maslahat bagi rakyat banyak.

Hal itu dilontarkannya, menanggapi rencana pemerintah akan mengimpor beras tahun ini sekitar 1 juta ton. Rencananya, dari jumlah itu sebagian akan digunakan untuk meningkatkan cadangan beras pemerintah (CBP) dan separuh lagi untuk memenuhi kebutuhan Bulog. Padahal, produksi beras di Tanah Air saat ini mengalami lonjakan yang signifikan. 

Menurutnya, para menteri yang doyan impor itu bukan kali pertamanya melakukan hal tersebut.

"Bapak presiden, ganti saja segera menteri-menteri bapak yang gandrung mengimpor," tegas Faisal Basri dalam keterangannya, Senin 15 Maret 2021. 

"Mereka mau gampangnya saja, lebih mengedepankan value extraction alias percaloan yang menguntungkan segelintir orang ketimbang value creation dengan kebijakan kreatif dan inovatif yang menaburkan maslahat bagi banyak orang," tambahnya, dilansir rmol. 

Faisal kemudian mengingatkan aksi serupa saat periode pertama pemerintahan Jokowi. ketika itu, mengeluarkan rekomendasi impor garam yang jauh melebihi kebutuhan. Ketika ditanya wartawan, dirjen yang mengurus garam malah berkilah pihaknya lupa memasukkan produksi garam rakyat.

Faisal kemudian membeberkan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan potensi produksi beras sepanjang Januari-April tahun 2021 ini mencapai 14,54 juta ton. Hal itu berarti ada peningkatan sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Kenaikan ini tak lepas dari kenaikan potensi luas panen yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 1 juta hektar selama periode yang sama dibandingkan tahun lalu.

Jangan Ulangi Kesalahan 

Menurutnya, pemerintah tidak mengulangi kesalahan di tahun 2018 lalu. Di mana lonjakan impor sepanjang tahun 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk PSO/CBP naik hampir 4 juta ton. Namun di sisi lain, penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton.

Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018. Bulog sendiri akhirnya jadi keteteran mengelola stok sebanyak itu. Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi.

"Ongkos 'uang mati' pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas," ingatnya. 

Meskipun saat 2018 butuh impor untuk stabilisasi harga menjelang Pemilu, kata Faisal Basri, namun jumlahnya melebihi kebutuhan. Tak ayal, harga gabah kering di tingkat petani sempat merosot ke titik terendah dalam 9 bulan terakhir.

Penyebab lain dari penurunan harga adalah waktu pelaksanaan impor yang ganjil; impor relatif tinggi ketika masa panen atau tatkala terjadi surplus (produksi lebih besar dari konsumsi) dan sangat sedikit ketika sedang mengalami defisit (konsumsi lebih besar dari produksi). ***