Menu

Koalisi Masyarakat Sipil: Jangan Pilih Capres yang Lahirkan Politik Dinasti dan Tuna Etika 

Zuratul 11 Feb 2024, 22:36
Koalisi Masyarakat Sipil: Jangan Pilih Capres yang Lahirkan Politik Dinasti dan Tuna Etika. (X/Foto)
Koalisi Masyarakat Sipil: Jangan Pilih Capres yang Lahirkan Politik Dinasti dan Tuna Etika. (X/Foto)

RIAU24.COM -Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional menyerukan agar tidak memilih pasangan calon presiden-wakil presiden yang akan melanggengkan politik dinasti dan tuna etika di Pilpres 2024.

Sikap tersebut dikeluarkan koalisi sebagai hukuman bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Hal ini didasarkan pada dua laporan alternatif untuk isu ekonomi, sosial, dan budaya, serta isu sipil dan politik yang telah disampaikan kepada PBB.

"Menghukum Joko Widodo dan koalisinya secara sosial dengan tidak memilih pasangan capres-cawapres yang hanya akan melahirkan politik dinasti, tuna etika, dan yang akan menjadikan negara ini kembali menjadi negara otoriter dan dengan agenda-agenda eksploitatif yang merusak lingkungan," ujar Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia Daniel Awigra dalam siaran persnya, Minggu (11/2).

Koalisi, terang Daniel, menggugat dan mendesak Jokowi untuk mundur dari jabatan presiden karena tidak melaksanakan mandat menjalankan pemerintahan secara adil untuk semua.

Koalisi menyimpulkan Jokowi telah gagal dalam menjalankan kewajiban penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (sipol), juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).

Pemerintahan Jokowi, lanjut Daniel, khususnya dalam masa pandemi Covid-19 dan setelahnya, membuat sejumlah kebijakan berorientasi pasar yang justru merusak demokrasi, menyuburkan korupsi, eksploitatif dan ekstraktif terhadap sumber daya alam yang menguntungkan sebagian kecil elite serta semakin menjauhkan kelompok rentan untuk memperoleh haknya.

Koalisi menyatakan rezim Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran HAM dan secara sistematis melakukan korupsi politik, termasuk kejahatan elektoral dengan memanfaatkan situasi pandemi dan pemilu untuk mendorong agenda otoritarian eksploitatif yang oportunistik.

Seperti pembuatan Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang mempermudah pemberian izin investasi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan dan perlindungan hak-hak masyarakat; Revisi UU Minerba yang memberikan banyak insentif bagi perusahaan tambang dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya; Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mendorong percepatan perusakan lingkungan.

Kemudian pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini berperan penting dalam mencegah dan memberantas korupsi di sektor pengelolaan sumber daya alam; Revisi KUHP dan UU ITE yang masih mempertahankan Pasal-pasal represif, bahkan over-kriminalisasi dan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan akademik; hingga mengancam kebebasan pers mulai dari regulasi yang tidak pro kemerdekaan pers, pembiaran kekerasan terhadap jurnalis, dan lepas tanggung jawab negara tas kebebasan pers.

"Terlebih, akhir 2023 dan awal 2024 diwarnai dengan laku politik Presiden Jokowi yang merusak demokrasi dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dan keluarganya," tutur Daniel.

"Mulai dari kasus pelanggaran serius kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi yang memberikan putusan banal yang meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Calon Wakil Presiden hingga kasus etik berat Ketua Komisi Pemilihan Umum dalam pencalonan Prabowo-Gibran, yang keseluruhannya ini dapat merusak integritas Pemilu," tandasnya.

(***)