Awas, Zoom Dysmorphia Ancam Anda Yang Suka Halaman Videoconferencing
RIAU24.COM - Sejak pandemi COVID-19, banyak kebiasaan kita yang mulai berubah. Salah satunya dengan mengadakan rapat atau meeting secara virtual.
Kebanyakan orang saat ini terpaksa menghabiskan waktu untuk melakukan pertemuan virtual. Baik untuk pekerjaan, kebutuhan sosial, hingga interaksi yang lebih personal. Membuat orang melihat orang lain – serta diri mereka sendiri – di layar perangkat komunikasi.
Bagi sebagian orang, aktivitas ini bisa dilakukan berjam-jam di siang hari. Jadi, pada sebagian orang juga, menimbulkan persepsi yang salah tentang penampilan. Beberapa kasus bahkan secara mendasar mengubah pandangan tentang diri sendiri.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan dalam International Journal of Women's Dermatology, kondisi tersebut dinamakan Zoom dysmorphua. Ini adalah gangguan dismorfik tubuh, terutama pada wajah. Kondisi ini membuat seseorang memiliki persepsi yang salah tentang wajahnya.
Dalam laporan yang diterbitkan Januari lalu, para peneliti menemukan peningkatan pasien yang mencari konsultasi kosmetik di setengah dari profesional medis yang disurvei. Peningkatan ini dibandingkan dengan waktu sebelum pandemi.
Sebanyak 86 persen dari total tenaga medis yang disurvei mengungkapkan bahwa pasien menggunakan video conference call sebagai alasan untuk mengubah penampilan.
"Ketika ketergantungan pada panggilan video meningkat, kami mulai melihat dampak menatap diri sendiri dalam waktu lama pada pasien dalam sebuah fenomena yang kami sebut Zoom dysmorphia," kata Shadi Kourosh dari Harvard Medical School.
Menurut temuan Kourosh dan tim, peningkatan waktu layar, ditambah dengan perasaan tidak menarik yang disebabkan oleh kamera yang menghadap ke depan, memicu respons bawah sadar yang unik dari seseorang.
“Selain itu, menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial dan melihat foto yang diedit orang lain memicu perbandingan yang tidak sehat dengan foto diri di depan kamera – yang bagi kami sebenarnya terdistorsi dan bukan cerminan yang sebenarnya,” jelas Kourosh.
zxc2
Bagi penderita Body Dysmorphic Disorder, perilaku ini bukanlah hal baru. Namun, pandemi telah berhasil menciptakan cara baru bagi gejala BDD untuk bermanifestasi dalam perilaku seseorang. Menurut Fugen Neziroglu, PhD, psikologi dan direktur eksekutif pusat perawatan Bio Behavioral Institute, di New York, salah satu kebiasaan penderita BDD adalah terus-menerus melihat ke cermin.
“Membuat banyak orang berpikir mereka narsisis. Namun justru sebaliknya. Orang-orang ini (penderita BDD, -red) merasa jelek dan ingin bersembunyi dari orang lain," jelasnya.
Neziroglu juga mengatakan bahwa pengidap BDD juga memiliki pendapat tersendiri mengenai penampilan. Bahkan, mereka rela menggunakan cara apapun demi mewujudkan ide-ide terkait penampilan mereka. “Ini dilakukan dengan operasi plastik atau menggunakan opsi yang lebih terjangkau. Misalnya terus-menerus merapikan gigi dengan kikir kuku atau memijat hidung sendiri," pungkasnya.