PKB Komentari Menag Yaqut yang Sebut Pemimpin Mulut Manis, Sindir Kader Palsu
RIAU24.COM -Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyiapkan langkah pendisiplinan bagi Menag Yaqut Cholil Qoumas buntut pernyataannya jangan pilih pemimpin karena bermulut manis dan berwajah tampan.
"Kalau sebagai kader PKB, kami tentu sudah menyiapkan langkah-langkah pendisplinan," kata Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid kepada wartawan, Minggu (1/10).
Sebelum menjabat Menag, Yaqut sendiri merupakan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB.
Usai dilantik menjadi Menag, posisi itu digantikan oleh Luqman Hakim.
Jazilul menegaskan cepat atau lambat pendisiplinan terhadap Yaqut itu akan dilakukan.
Menurutnya, konstituen PKB juga bisa membedakan mana kader PKB yang sebenarnya dan kader palsu.
"Mana kader palsu, mana kader beneran, mana yang sesuai dengan visi partai dan taat pada seluruh perintah partai dan mana yang bukan," ucapnya.
Selain melalui mekanisme internal partai, Jazilul menilai publik juga akan turut melakukan penilaian.
Menurutnya, penilaian publik itu lah yang menjadi lebih penting.
"Jangan membuat publik ini berspekulasi dan bingung dan menggiring opini yang enggak perlu," ujar dia.
Yaqut sebelumnya mengajak untuk memilih pemimpin yang tak hanya pandai berbicara dan bermulut manis.
Ia meminta agar publik mencermati betul rekam jejak para calon yang akan bertarung di Pilpres 2024.
Yaqut menyampaikan demikian dalam sambutannya saat menghadiri acara doa bersama Wahana Nagara Rahaja di Hotel Alila, Solo, Jumat (29/9).
"Track record-nya bagus syukur, mukanya ganteng syukur, bicaranya manis, itu dipilih. Kalau nggak ya jangan, jangan pertaruhkan negeri ini kepada orang yang tidak memiliki perhatian kepada kita semua, cek track record-nya," kata Yaqut.
Selain itu, ia mengingatkan agar tak memilih pemimpin yang menggunakan agama untuk kepentingan politik. Meski ia meyakini politik tak akan terlepas dari agama.
Pada kesempatan itu, Yaqut juga mengungkit Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 serta Pemilu 2014 dan 2019 yang menurutnya menggunakan agama sebagai alat politik.
Ia menilai hal itu merupakan sejarah yang tidak baik dalam politik Indonesia.
"Kita punya sejarah tidak baik beberapa waktu yang lalu ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemudian dua Pilpres terakhir, agama masih terlihat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan," tegas dia.
(***)