Kerap Memar Sejak Bayi, Begini Kisah Muhammad Zalman Bocah Pengidap Hemofilia dari Pekanbaru
RIAU24.COM - Di Indonesia, diperkirakan terdapat 27 ribu pasien hemofilia. Namun, sampai dengan tahun 2021, hanya sekitar 3.000 pasien yang terdiagnosis dan tercatat dalam Annual Report 2021 oleh World Federation of Haemophilia.
Hemofilia merupakan gangguan pada sistem pembekuan darah yang langka. Kondisi ini terjadi ketika tubuh kekurangan protein tertentu yang dibutuhkan dalam proses pembekuan darah.
Penyakit hemofilia tersebut kini diidap oleh Muhammad Zalman Ayudi, bocah berumur 3 tahun yang didiagnosa mengidap hemofilia sejak masih bayi.
Penyakit yang ditandai dengan sulitnya darah untuk membeku itu, membuat bocah asal Kota Pekanbaru ini membutuhkan pengobatan seumur hidup.
Pada hari Hemofilia Sedunia (World Hemophilia Day) yang diperingati setiap tanggal 17 April, Riau24.com akan mengangkat perjuangan Zalman dan orangtuanya dalam menjalani kehidupan menghadapi penyakit hemofilia.
Awal Mula Terdiagnosa Hemofilia
Kecurigaan Ira Efi Susanti (40) terhadap kondisi tidak normal yang dialami Zalman, terjadi saat buah hatinya itu mengalami lebam-lebam membiru.
Namun Ira tidak pernah menyangka, jika lebam-lebam tersebut merupakan tanda jika putra bungsunya itu akan menjalani rawat jalan seumur hidup.
"Terdiagnosis saat umur 6 bulan. Tidak ada jatuh, tapi lebamnya makin lama makin membesar. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk membawa Zalman ke klinik," terang ibunda, Ira, kepada Riau24.com saat ditemui dalam acara seminar Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Provinsi Riau, Kamis (17/4/2025) di Re Caffe Pekanbaru.
Saat di klinik, Ira mengatakan jika Zalman disarankan untuk dibawa ke rumah sakit.
"Dokter di klinik menyarankan kami membawa Zalman ke RS Awal Bros. Dirumah sakit inilah kami bertemu dengan dr Cece Alfalah, yang kemudian menyarankan kami untuk mengecek kondisi Zalman di Laboratorium Prodia," ungkap Ira.
Sebagai informasi, dr. Cece Alfalah, Sp.A (K) adalah seorang Dokter Spesialis Anak konsultan Hematologi-Onkologi yang berpraktik di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru.
Tanpa pikir panjang, Ira pun mengikuti saran dokter anak tersebut.
"Hasilnya bikin saya kaget. Ternyata anak saya kurang protein nomor IX artinya hemofilia B," jelas Ira.
Ira mengaku, awalnya merasa terpukul, mengingat tiga kakak Zalman yang lain terlahir sehat.
"Saya cukup terpukul. Tidak pernah mengerti penyakit itu kok bisa ada. Selama ini saya tahunya cuma leukemia," imbuh Ira.
Meski terpukul, namun ibu rumah tangga asal Pekanbaru itu memutuskan untuk tegar menjalani dan memilih untuk menyerahkan semuanya kepada Allah SWT.
Kini, di usia Zalman yang sudah menginjak 3 tahun, ia mampu beraktivitas normal seperti balita pada umumnya.
Namun, Ira mengaku jika aktivitas berlebihan atau ada benturan dan trauma, maka Zalman harus segera kontrol dan menjalani perawatan.
"Seharusnya tidak boleh aktivitas yang terlalu aktif, tapi dia kan anak laki-laki. Jadi kita sebagai orang tuanya yang harus menjaga lebih ekstra," pungkas Ira.
Dibalik penyakit yang membayangi masa depan Zalma, Ira mengaku beruntung mengetahui penyakit hemofilia di zaman teknologi yang sudah canggih.
"Meski awalnya sempat down, tapi saya berdamai dengan keadaan," jelas Ira.
Sejak anaknya divonis hemofilia, Ira pun mencari berbagai pengobatan yang bisa ditempuh guna menangani penyakit ini.
Sampailah ia bertemu dengan Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI). Dari sana terbuka wawasannya soal hemofilia.
“Dari sana saya paham hemofilia itu penanganannya seperti apa jika terjadi perdarahan. Karena ternyata banyak tenaga medis yang tidak terlalu mengerti dengan penyakit ini,” ujarnya.
Ibu empat anak ini mengaku, sejak memperoleh informasi dari HMHI, ia mendapat banyak kemudahan dalam penanganan penyakit yang diidap sang buah hati.
"Setelah mendapat informasi dari HMHI, saya mendapat banyak kemudahan. Salah satunya saat berobat di RS Aulia Pekanbaru. Di rumah sakit itu, saya diperbolehkan membawa suntikan Faktor IX," jelas Ira.
Sejak diperbolehkan membawa suntikan tersebut, Ira mengaku merasa tidak terlalu khawatir.
"Sekarang saya merasa tenang. Sebelum anak saya terbentur, saya sudah bisa suntikkan sendiri. Bahkan saya merasa jika Zalman itu anak yang normal seperti anak-anak yang lain," kata Ira sambil tersenyum.
Pengobatan hemofilia umumnya berlangsung seumur hidup dan obat yang digunakan biasanya berupa suntikan konsentrat faktor pembekuan atau partikel pembeku darah buatan. Frekuensi suntikan ini, diakui Ira diberikan sesuai dengan kebutuhan.
“Tergantung aktivitas lagi, kalau aktivitasnya banyak dan sering perdarahan sendi-sendinya. Terus kalau ada trauma atau benturan sudah pasti diberikan suntikan,” jelasnya.
Sebagai orangtua dengan anak hemofilia, Ira berharap pelayanan kesehatan di Provinsi Riau terus ditingkatkan agar setiap anak bisa mendapat pelayanan terbaik, termasuk untuk anak dengan hemofilia.
"Bayangkan kalau terjadi pendarahan dan stok obat kosong, tentu akan terlambat penanganannya,” pungkas Ira.
Ira pun berpesan kepada orang tua yang anaknya mengidap hemofilia agar mau membuka diri.
"Untuk pengidap hemofilia, jangan pernah malu. Itu bukan penyakit menular. Bisa diobati meski harus seumur hidup. Bagi orang tua yang melihat tanda-tanda memar di tubuh anaknya, harus cepat dan tanggap. Jangan sampai menyesal jika nanti berakibat fatal," tutup Ira. ***