Roy Suryo Sentil Gibran soal Ijazah: Legalitasnya Harus Jelas, Bukan Sekadar Gelar
RIAU24.COM -Pakar telematika Roy Suryo menyoroti polemik keabsahan ijazah pendidikan menengah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Ia menilai, status penyetaraan ijazah luar negeri yang belum dijelaskan secara terbuka menimbulkan pertanyaan publik dan berpotensi menjadi masalah hukum jika tidak segera diklarifikasi.
Dalam tayangan Prime Plus berjudul “Riuh di Balik Lembaran Ijazah Gibran”, Roy menegaskan bahwa setiap ijazah yang diperoleh dari lembaga pendidikan luar negeri harus melalui proses penyetaraan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia mengatakan penyetaraan bukan formalitas, tetapi bagian dari mekanisme hukum yang menentukan sah atau tidaknya ijazah tersebut di Indonesia.
“Setiap ijazah luar negeri wajib disetarakan oleh kementerian terkait. Kalau belum disetarakan, maka secara hukum dokumen itu belum memiliki kekuatan formal di Indonesia,” ujar Roy.
Roy menambahkan bahwa persoalan ini bukan tentang kualitas akademik atau reputasi lembaga pendidikan Gibran di luar negeri, melainkan tentang kepatuhan terhadap sistem hukum nasional.
“Negara kita punya aturan sendiri. Semua warga negara, tanpa kecuali, harus mengikuti mekanisme itu. Ini bukan sekadar soal ijazah, tapi soal prinsip hukum dan tanggung jawab publik,” katanya.
Pernyataan Roy muncul di tengah proses gugatan perdata senilai Rp125 triliun yang diajukan Subhan Palal terhadap Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, Subhan menilai ijazah pendidikan menengah Gibran belum memenuhi syarat penyetaraan sebagaimana diatur dalam peraturan pendidikan nasional. Ia meminta Gibran dan KPU memberikan klarifikasi terbuka dan menjadikan kasus ini sebagai pelajaran tentang pentingnya transparansi administrasi pejabat publik.
“Kalau pejabat publik bisa menggunakan ijazah tanpa proses penyetaraan, lalu untuk apa aturan itu dibuat? Ini bukan persoalan pribadi, ini soal keadilan bagi semua warga,” kata Subhan dalam tayangan yang sama.
Roy menilai, persoalan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat jika pihak Gibran membuka dokumen penyetaraan secara transparan. Ia menekankan bahwa publik berhak mendapatkan kejelasan atas hal-hal yang menyangkut pejabat publik.
“Kalau semua dokumen sudah ada, tunjukkan saja. Publik tidak akan memperdebatkan hal yang terbuka. Transparansi itu justru memperkuat kepercayaan,” ujarnya.
Roy juga mengingatkan bahwa ijazah luar negeri tidak otomatis diakui secara nasional tanpa verifikasi hukum. Ia menilai kesalahan umum yang terjadi di masyarakat adalah menyamakan pengakuan internasional dengan pengakuan legal di Indonesia.
“Kampus luar negeri bisa punya akreditasi internasional, tapi di Indonesia tetap harus diverifikasi. Itu syarat hukum, bukan pilihan,” tegasnya.
Dalam pandangan Roy, isu ini seharusnya ditempatkan sebagai persoalan administratif, bukan politik. Ia meminta semua pihak untuk tidak menarik kasus ini ke ranah partisan atau menjadikannya bahan serangan politik.
“Jangan langsung menuduh, tapi juga jangan diam kalau ada hal yang belum jelas. Ini bukan tentang politik, ini tentang kepastian hukum. Kalau semua prosedur dijalankan dengan benar, tidak akan ada masalah,” ujarnya.
Roy menilai bahwa keterbukaan pejabat publik dalam hal-hal mendasar seperti dokumen pendidikan merupakan cermin akuntabilitas pemerintahan. Ia menegaskan bahwa yang dipertaruhkan dalam kasus ini bukan hanya legitimasi ijazah, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pejabat negara.
“Kepercayaan publik tidak dibangun dari gelar atau sekolah di luar negeri, tetapi dari kepatuhan pada hukum dan kesediaan untuk terbuka. Kalau hal kecil saja tidak bisa transparan, bagaimana dengan hal yang lebih besar?” katanya.
Hingga saat ini, gugatan terhadap Gibran masih berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak Gibran belum memberikan pernyataan resmi mengenai status penyetaraan ijazahnya. Sementara itu, KPU menyatakan akan menghormati dan mengikuti seluruh proses hukum yang sedang berjalan.
Roy menutup pernyataannya dengan menegaskan pentingnya transparansi dalam menjaga kepercayaan masyarakat.
“Kalau semua terbuka, tak ada ruang untuk spekulasi. Ini bukan soal siapa yang benar atau salah, tapi bagaimana hukum ditegakkan secara adil,” ujarnya.
(***)