Menu

Konservasi Sastra, Pusat dan Daerah Harus Sinergi

Elvi 23 Apr 2019, 19:03
Kepala Subpelindungan Sastra Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Deni Setiawan, SS. dalam acara diskusi terbatas/IST
Kepala Subpelindungan Sastra Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Deni Setiawan, SS. dalam acara diskusi terbatas/IST

RIAU24.COM -  BANGKINANG - Sastra lisan merupakan bagian dari kekayaan budaya yang dimiliki suatu daerah. Maka, diperlukan upaya pelestarian dengan melakukan konservasi dan atau revitalisasi sebagai bentuk pelindungan. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah diminta bersinergi bergandengan tangan mewujudkan upaya pelestarian budaya.

Demikian dikatakan Kepala Subpelindungan Sastra Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Deni Setiawan, SS. dalam acara diskusi terbatas antara Badan Pelindungan Bahasa dan Perbukuan, Balai Bahasa Riau, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan budayawan di kantor Disparbud, Kabupaten Kampar, Kamis,18 April 2019.

Menurut Deni, upaya pelindungan bahasa dan sastra sudah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2014. Intinya, pelindungan bahasa dan sastra adalah upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa dan sastra melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajaran.

“Dalam kegiatan konservasi dan atau revitalisasi, kami hanya membuatkan model. Setelah itu pemerintah daerah (Pemda) melanjutkan kegiatan tersebut. Ini mengingat persoalan efisiensi dan efektifitas. Jadi, pemerintah pusat dan daerah berbagi peran dalam upaya pelestarian ini,” kata Deni.

Berbagi peran yang dimaksud, menurut Deni adalah peran dalam pendanaan, peran konsep, dan peran dalam sumber daya manusianya (SDM). Sinergi yang baik dengan tekad yang kuat, maka akan didapat sebuah pencapaian yang maksimal dalam kegiatan konservasi atau revitalisasi. “Hasilnya memang tidak langsung. Mungkin tiga tahun, bisa jadi lima tahun kemudian setelah kegiatan konservasi dilakukan,” kata Deni.

Kegiatan konservasi sangat terkait dengan tekad yang kuat dari instasni pelaksana, dalam hal ini Pemkab Kampar-lah yang lebih tahu terhadap sastra lisan yang mereka miliki. Ini semua harus didukung oleh masyarakat pemiliknya. Jika pemerintah daerahnya kuat untuk melaksanakan konservasi dan atau revitalisasi, namun kalau tidak didukung oleh masyarakatnya, maka tidak akan didapat hasil akhir yang baik terhadap program konservasi dan revitalisasi.

Sebab, kata Deni, konservasi dan revitalisasi adalah soal mengubah perilaku dari yang tidak biasa menjadi tradisi, hingga akhirnya menjadi budaya suatu masyarakat. Deni mencontohkan program kawin campur yang dikhatirkan akan “membunuh” bahasa ibu dalam keluarga. “Malahan, program kawin campur sebuah keluarga yang berlatar belakang bahasa daerah berbada, akan melahirkan generasi (anak) yang mengerti dua bahasa ibu dan menguasai bahasa Indonesia sebagai pemersatu dalam keluarga tersebut,” terang Deni.

Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Riau, Drs, Umar Solikhan, M.Hum. dalam materinya menyampaikan pentingnya upaya konservasi dan revitalisasi bahasa dan sastra, manuskrip, dan sastra cetak sebagai kekayaan budaya yang dimiliki Kabupaten Kampar. “Hasilnya baru nanti. Tidak hanya betujuan lestarinya sebuah tradisi lisan, akan tetapi upaya konservasi dan revitalisasi bisa dinikmati untuk tujuan pariwisata.

“Tiga tahun terkahir, kata Umar, Balai Bahasa Riau sudah melakukan revitalisasi Basisombou di daerah Tapung, Kab.Kampar, Kajian Vitalitas Nyanyian Pengantar Tidur Onduo di Rohul, Baghandu di Kampar, dan Dodoi di Siak. Tahun ini, Konservasi Pantun Otui(pantun seratus) dan Pantun Ugam, Sastra Cetak, dan Manuskrip di Kampar.

Hadir dalam diskusi tersebut, Kepala Disparbud Kampar yang diwakili oleh Sekretaris Dinas Heri Susanto. Dalam paparannya Heri menekankan pentingnya upaya pelestarian dengan program konservasi dan revitalisasi sastra lisan, manuskrip, dan sastra cetak sebagai khasanah kekayaan dari Kampar. “Untuk sastra lisan, ada bebeberapa kekayaan budaya Kampar yang sudah diakui negara dan mendapat penghargaan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), yaitu silat perisai, batubara,  rumah lontiok dan basijobang (buwuong gasiong).

Heri menyambut baik uapaya Badan Pengambangan Bahasa dan Perbukuan melestarikan budaya Kampar melalui upaya konservasi dan revitalisasi. Dirinya mengakui bahwa sadar budaya masih belum maksimal diperhatikan pemerintah daerah. Padahal, tradisi lisan merupakan kekayaan budaya yang bisa dijual dalam dunia pariwisata. Kami juga menghimbau masyarakat untuk sadar bahasa dan sastra.

Diakhir acara Heri menyampaikan pesan Kadis Parbud soal rekomendasi diskusi yang nantinya bisa diharapkan berguna menyusunan rencana kerja tahun 2020 dan berharap bisa teranggarkan dalam APBD Kampar.

Sementara itu, budayawan Kampar, Sudirman Agus memberikan paparan soal sastra lisan yang dimiliki Kampar dalam bentuk tayangan video. Ada 15 sastra lisan Kampar yang dimiliki daerah dengan sebutan Serambi Mekah tersebut, mulai dari dondong, pantun atui, buwong gosiang, randai, dsb. Dia berharap, adanya upaya pemerintah daerah dan masyarakat untuk melstarikan dan menghidupakn kembali tradisi. “Ada nilai-nilai kearifan lokal terkandung dalam sastra lisan,” kata Agus.

Hadir dalam acara tersebut sejumlah peneliti Balai Bahasa Riau, Pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Kampar dan budayawan.***


R24/phi/rls