Menu

Terkuak Lagi, Ini Revisi UU KPK yang Disebut Bertentangan dengan Keputusan MK

Siswandi 9 Sep 2019, 09:53
Ilustrasi
Ilustrasi

RIAU24.COM -  Dari sekian rencana revisi UU KPK yang diagendakan DPR, dua di antaranya adalah  memberikan kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) hingga mencabut penyidik independen. Namun ternyata, dua materi tersebut pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan ditolak.

"Berkali-kali MK melalui putusannya tahun 2003, 2006 dan 2010 telah menyatakan tidak diberikannya kewenangan SP3 bagi KPK adalah konstitusional," ungkap peneliti Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) FH Universitas Jember, Fahmi Ramadhan Firdaus, Senin 9 September 2019.

Dilansir detik, selain itu, dalam revisi itu kewenangan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik independen, juga akan dicabut. Menurut Fahmi, rencana ini juga tidak layak karena sudah dinyatakan materinya bertentangan dengan konstitusi.

"Dalam Putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat Penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan," tambahnya lagi.

Putusan MK yang dimaksud yaitu putusan atas gugatan koruptor OC Kaligis yang menggugat penyidik KPK. Namun MK menilai praktik yang sama juga dilakukan lembaga atau badan antikorupsi juga dilakukan di negara lain seperti di Hong Kong dan Singapura.

Seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong, yang merekrut sendiri penyidiknya terlepas dari Kepolisian.  Dalam hal ini, pola yang dilakukan ICAC dilakukan berdasarkan keahlian dan kinerja.

Sedangkan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura, penyidiknya khusus dan dianggap sama dengan perwira polisi berpangkat inspektur ke atas. Hal ini juga dikarenakan CPIB Singapura independen dan terlepas dari Kepolisian.

Tak hanya itu, Fahmi juga menyorot materi revisi lainnya yaitu kewajiban dalam melaksanakan tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Pihaknya menilai, revisi ini merupakan sebuah kemunduran bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Karena pada dasarnya kehadiran KPK adalah untuk menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap," cetus Fahmi.

Tidak hanya fahmi, hal yang sama juga ikut dinyatakan civitas hukum FH Universitas Jember, yaitu Ikatan Mahasiswa Hukum Tata Negara (IMA-HTN), Criminal Law Student Association (CLSA), Civil Law Community (CLC), Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H), Future Leader For Anti Coruption (FLAC) Regional Jember, Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jember dan Lembaga Pers Mahasiswa Imparsial Fakultas Hukum Universitas Jember.

Berdasarkan hal tersebut di atas, elemen masyaraka tersebut meminta Presiden Jokowi menolak melakukan pembahasan revisi UU KPK di DPR.

"Sesuai Pasal 49 UU P3 maka penolakan oleh Presiden atas usulan pembahasan RUU oleh DPR ditandai dengan tidak dibuatnya Surat Presiden (Surpres) yang berarti pembahasan suatu RUU tidak bisa dilanjutkan," ujarnya lagi. ***